[FF G] Rose | Chapter 5


untitled-1-copy-jpg

Author : Ayu Puspitaningtyas | Title  : Rose |  Length : Multi Chaptered | Rate :  PG17 |  Genre : Romance, AU, Hurt, Drama | Cast :  Yoo Yunji (OC),  Sunggyu  Infinite as  Kim  Sunggyu (OOC),  Rome C Clown  as  Yoo Barom (OOC), Daehyun B.A.P  as  Jung  Daehyun (OOC),  And Others

*****

This  is  just FANFICTION. Harap  dimaklumi  jika  karakter tak  sesuai  dengan kenyataan.

 Happy  Reading  and  don’t  forget to  leave  your  Review  My  Beloved  Readers!

Author’s Note : Chapter kali ini lebih panjang ya…. Itung-itung sebagai permintaan maaf karena ff ini sering ngadat 😀

List Chapter 1 , 2 , 3 , 4

*****

Cerita Sebelumnya :

“Teman? Memangnya mengapa mereka mengejar temanmu itu hingga harus mengikutimu?”

“Itu…masalah pribadi.”

Ia mengangguk. Aku menghela nafas lega. Aku memang tak mengharapkan ia bertanya lebih jauh mengenai masalah ini.

“Kalau begitu….”

“Terimaksih. Aku Jung Dasom.” Kuulurkan tangan. Ia meliriknya. Lantas tersenyum padaku. Ya, Tuhan! Ia sungguh tampan. Aku sungguh tak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Aku harus bisa mengenalnya karena aku takkan pernah tahu kapan lagi memiliki kesempatan untuk bisa bertemu dengannya. Kuharap ia….

“Barom. Yoo Barom. Senang berkenalan denganmu Dasom~ssi.”

*****

# Author’s POV

Barom melempar asal helmnya ke lantai. Begitu juga dengan jaket yang semula ia gunakan. Lantas, ia berbaring begitu saja. Matanya menatap langit-langit hunian kecil yang ia sewa perbulan itu. Cukup jauh dari pusat perkotaan. Tak ada suara kendaraan yang bisa ia dengarkan. Terkadang hanya ada suara gonggongan anjing tetangga dan deru pesawat terbang yang melintas.

Ia kembali mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat ia bertemu dengan gadis bernama Dasom itu. Barom menghela nafas keras. Ia pikir gadis itu bisa memberikan banyak informasi padanya tapi, kenyataan tak seperti itu. Gadis itu sama sekali tak membantu. Padahal ia sudah mengambil resiko dengan menolong gadis itu dari kejaran para debt collector yang kerap mengejarnya ataupun Yunji.

Barom benar-benar tak menyukai hal ini tapi, benarkah Dasom tak mengetahui dimana keberadaan Yunji?

Adiknya itu memang menghilang tanpa jejak secara tiba-tiba dan setelah itu, ia melihat beberapa orang selalu mengawasi Dasom serta rumah sewa yang gadis itu tinggali bersama Yunji. Pasti ada sesuatu di sini karena Barom tahu benar Yunji tak mungkin menghilang begitu saja setelah mengetahui bahwa ia memegang kunci guna mencari keberadaan ibu mereka yang telah lama menghilang. Yunji pasti belum pergi dari kota itu tapi pertanyaannya sekarang, dimana gadis itu bersembunyi? Tak menutup kemungkinan bukan bahwa Yunji akan muncul kembali? Adiknya itu pasti akan menghubungi Dasom setelah dirasa situasi jauh lebih tenang. Ia pasti akan menghubungi Dasom. Ia yakin itu.

Rencana baru harus segera ia susun.

*****

# Sunggyu’s POV

Aku tengah duduk di salah satu kursi yang sudah dipesankan Manajer Cha untukku di sebuah restoran mewah. Tentu saja dalam rangka acara kencan yang ibu jadwalkan untukku. Kebetulan sekali si gadis yang akan dijodohkan padaku akan datang terlambat. Ini membuatku cukup kesal. Aku tak pernah menunggu sebelumnya. Ia mau bermain-main denganku rupanya. Tak apa.

Di tengah kebosanan yang melandaku saat sedang menunggu, aku melihat seorang gadis yang tengah duduk seorang diri tak jauh dari tempatku. Ia tertunduk seraya meneteskan air mata dan menggenggam liontin kalungnya. Ou…sedang patah hati rupanya.

Aku mengamati gadis itu untuk beberapa saat dari ujung kepala hingga kaki. Ia mengenakan blouse berwarna putih dan rok di atas lutut berwarna biru muda. Cantik. Aku menghela nafas dan bangkit dari tempatku. Aku menghampirinya.

Kusodorkan selembar tisu padanya. Ia mendongak menatapku dengan matanya yang sembab. Aku tersenyum dan tanpa banyak tanya, aku duduk di kursi kosong di hadapannya.

Nuguseyo (kau siapa)?” tanyanya seraya menyapu air mata menggunakan tisu yang kuberikan.

“Aku? Aku hanya seseorang yang kebetulan berada di sini dan ditakdirkan untuk melihat seorang gadis tengah menangis seorang diri.”

Ia terdiam dan menatapku lekat.

Aku mencondongkan tubuhku ke depan. Lalu, “Nona, kurasa kau memang cantik saat menangis. Tapi aku yakin, kau akan lebih cantik saat tersenyum.”

“Benarkah?”

Aku mengangguk. “Lupakan kesedihanmu! Hidup ini terlalu indah untuk kau habiskan dengan menangisi satu hal.”

“Begitukah menurutmu?”

“Tentu saja.” Aku menjawabnya dengan mantap. Lantas beranjak pergi meninggalkannya begitu saja.

Chankanmanyo (tunggu sebentar)!”

Langkahku terhenti tepat saat ia memanggilku. Aku memutar tubuhku perlahan dan sudah mendapati gadis itu beranjak dari tempatnya.

“Apa ada kemungkinan kita bisa bertemu lagi?”

Kali ini, aku tersenyum puas. Satu mangsa baru.

“Tentu saja, nona.”

****

# Daehyun’s POV

Akhir-akhir ini, aku jadi keranjingan untuk datang ke apartemen Sunggyu. Begitupun malam ini. Tapi aku selalu datang di saat ia tak ada di tempat. Aku memang sengaja melakukannya. Karena aku ingin menemui gadis itu dan mengajaknya berbicara tanpa direcoki oleh Sunggyu. Dan setiap aku datang, aku selalu menemukan Yuna sedang tertidur lelap di ayunan di beranda. Dan sama seperti yang aku lakukan beberapa hari ini, aku hanya akan terdiam dan menatapnya sampai entah berapa lama. Seharusnya ia memang tak tidur di sini. Angin terlalu kencang dan langit pun sudah terlalu gelap tapi, aku pun tak berani membangunkannya ataupun mencoba memindahkannya. Ia terlalu pulas untuk diusik. Jadi, kuputuskan untuk selalu menyelimutinya. Khusus hari ini, aku tetap tinggal untuk menatapnya. Hanya ingin.

“Mau berdiri sampai berapa lama?”

Aku terkesiap. Lantas mendengus sekaligus tertawa pendek seraya menatap Yuna yang tiba-tiba sudah membuka mata. Sejak kapan ia terbangun?

“Apa aku membangunkanmu?”

“Mungkin.”

Yuna menjawabnya dengan dingin. Tanpa ada emosi sedikitpun dalam setiap katanya. Tapi hal itu justru membuatku terkekeh.

“Kalau begitu, ma’af. Tapi bukankah sebaiknya, kau tidak tidur di sini?”

“Tidak. Aku lebih suka berada di sini. Terasa lebih luas.”

Aku mengerutkan dahi samar mendengarkan pernyataannya. Lagi-lagi, ada yang tersembunyi dari setiap kata yang ia ucapkan. Terlebih pada tatapan menerawangnya ke langit.

“Kalau kau bosan, kita bisa jalan-jalan.”

Ia menggeleng. “Terimakasih. Aku rasa aku lebih baik tetap berada di sini untuk beberapa waktu. Berada di beranda ini sudah cukup untukku.”

Aku mengangguk mencoba untuk memahami keputusannya yang masih belum juga kumengerti. Aku bisa mendengar ia menghela nafas sebelum akhirnya berujar tentang Sunggyu yang takkan pulang dengan segera.

“Aku tahu.”

“Lalu mengapa….”

“Untuk mengunjungi teman baru. Apa itu salah?”

“Kita bukan teman.”

“Begitukah menurutmu?”

Ia hanya menatapku datar. Ooou…, ia sedang kesal padaku. Aku pun tersenyum dan mengacungkan jari kelingkingku kemudian.

Mwoya (apa ini?)”

“Bukankah semua gadis suka melakukan hal seperti ini saat membuat perjanjian dengan seorang pria? Seperti yang di drama.”

Ia mendengus. “Aku bukan gadis SMA lagi dan aku bukan pecinta drama.”

“Benarkah?”

“Aku sudah 27 tahun.”

“27 tahun? Haruskah aku memanggilmu noona?”

Ia mendelik kesal kali ini. Aku benar-benar tak bisa menahan untuk tidak terkekeh. Ia lucu sekali.

“Sepertinya tidak,” lanjutku.

Kuraih tangannya dan membuat jari kelingking kami saling terkait. Tapi hal itu tak mampu bertahan lama. Karena Yuna segera menarik tangannya.

“Sekarang kita sudah berteman.”

****

# Yunji’s POV

Sekarang kita sudah berteman….

Cih! Apa-apaan pria ini? Mengapa ia terus mempermainkanku? Teman…. Bagaimana ia bisa mengatakan itu dengan mudah sementara ia sendiri meragukanku? Berhenti tersenyum seakan kau tak pernah melakukan kesalahan Tuan Jung!

“Seorang teman harus saling mempercayai. Apa kau bisa mempercayaiku, Daehyun~ssi?”

Ia menyipitkan mata dan memeringkan kepala saat menatapku. Lantas melipat tangan di depan dada dan menghela nafas.

“Kalau aku tak pernah mempercayaimu, aku sudah meminta Sunggyu mendepakmu dari sini. Ia pasti akan mendengarkanku dengan baik.”

Benar. Itu pasti yang sudah ia lakukan padaku. Tapi sekarang kenyataan tak seperti itu. Tapi mungkin juga ada rencana lain di baliknya.

“Sudahlah. Tidak perlu memikirkannya terlalu keras. Kau bisa menciptakan hal-hal yang aneh dari otakmu itu nanti, Yuna~ssi.”

Aku tersentak dan menarik kepala ke belakang saat tangan Daehyun telah terulur mencapai puncak kepalaku. “Biarkan isi kepalamu ini beristirahat sejenak. Ia bisa saja rusak kalau kau terus memeras tenaganya.”

Ada yang salah dengan jantungku. Ada yang tidak beres dengan perutku. Mungkin juga dengan paru-paruku. Dengan tubuhku. Atau tepat seperti kata Daehyun baru saja. Otakku sudah rusak. Semuanya bekerja dengan tidak semestinya. Tubuhku bereaksi dengan aneh. Aku memang tak pernah berada dekat dengan seorang pria pun selama ini. Aku menjauhi mereka dan kali ini, memang mau tak mau, aku harus berada di sekitar mereka. Apakah kedua hal ini saling berhubungan? Apakah memang seperti ini rasanya saat seorang pria menyentuh puncak kepala seorang wanita?

Ia menurunkan tangan dan kembali tersenyum lebar padaku. “Aku pergi. Kau tidurlah di dalam. Apapun alasannya, tetap tak baik jika tidur di luar apalagi hingga pagi hari. Jangan sampai besok aku menemukanmu seperti tadi lagi kalau kau tak ingin kugendong masuk ke dalam! Algaetseo (mengerti)?

Lantas Daehyun menghilang di balik pintu tanpa menunggu jawabanku. Apa-apaan pria itu? Mengapa ia selalu mengatur dan mengancamku? Menyebalkan sekali!

*****

Aku tersentak kaget bahkan nyaris menyemburkan minuman yang baru saja kuteguk saat tiba-tiba saja pria itu sudah masuk ke dalam apartemen dengan wajah babak belur dan langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa begitu saja. Ada apa dengannya?

“Kau…dirampok?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Sama seperti saat kau menolongku hari itu.” Ia menjawabku tanpa membuka mata dan sesekali mendesis kesakitan.

“Kau dikeroyok lagi oleh gadis-gadis yang kau permainkan?”

“Kau membuatnya terdengar sangat memalukan, nona.”

Aku menghela nafas. Kau sendiri yang membuatnya terdengar seperti itu, Tuan Kim. Dan kau benar-benar pria yang tak mengenal jera. Sudah pernah dihajar seperti itu tapi, masih saja terus mempermainkan mereka.

Apa ia tak pernah mendengar kata karma? Seberapa banyak tamparan yang ia butuhkan untuk tersadar dari permainan tak masuk akalnya ini?

“Bodoh!” umpatku lirih.

“Apa yang kau katakan? Aku bisa mendengarnya.”

****

# Sunggyu’s POV

Aku membuka mata dan meliriknya yang masih berdiri di dekat bar dapur. Ia menatapku sinis. Lantas meneguk softdrink­-nya untuk menghindari bertatapan denganku. Akhir-akhir ini ia memang seperti itu. Menghindari mata kami bertemu untuk waktu yang lama hanya karena aku kerap mengatainya telah jatuh hati padaku. Dasar gadis menyebalkan! Kalau suka, ya, suka saja. Mengapa harus jual mahal seperti itu?

Tak mau berpikir banyak tentangnya, aku memilih untuk kembali memejamkan mata. Jika kupikirkan lagi, mengapa aku jadi sering sial akhir-akhir ini? Apa ada yang salah dengan rencanaku? Apa aku harus menyusun rencana yang baru? Sepertinya aku memang harus menyusun rencana baru agar tak terjadi hal menyebalkan seperti ini lagi.

Aku terkesiap saat tiba-tiba kurasakan dingin di pipiku. Benar saja, gadis itu entah sejak kapan sudah berjongkok di sampingku dengan menempelkan kaleng softdrink-nya pada pipiku dan (lagi) menatapku dengan wajah dingin seperti biasa.

“Apa yang kau lakukan?”

“Kau tak ingin matamu semakin tak terlihat, bukan?”

Gadis ini benar-benar tak pernah mau berhenti menyerangku di setiap ucapannya. Aku pun mencengkram pergelangan tangannya dengan erat. “Mengapa kau suka sekali mengompres luka dengan benda ini? Apa tak ada es di lemari pendingin dan juga kotak obat?”

“Aku  hanya terbiasa dengan ini.”

Aku mendengus sekaligus tertawa pendek. Terbiasa? Maksudnya spontanitas karena di tangannya hanya ada benda ini atau karena ia terlalu kerap mengobati luka dengan cara seperti ini? Woah! Jinja! Gadis ini benar-benar…. Ia mulai lagi mengatakan hal-hal yang tak masuk akal. Mau membuatku jatuh hati padamu karena penasaran dengan hidupmu nona?

“Obati lukaku dengan benar!”

Ia menarik tangannya dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan es sebagai kompres lebam di wajahku. Pun terus mengekori pergerakannya yang kemudian mengambil kotak obat di nakas tepat di sanding sofa. Lantas, ia kembali bersimpuh di sampingku dan mulai mengobati lukaku tanpa berkata apapun. Tak bisakah ia mengubah ekspresinya itu saat bersamaku? Aku benar-benar tak menyukainya.

“Hari itu, kau juga terluka, bukan?”

“….”

“Saat itu, kau tak menjawabku siapa yang melakukan itu padamu. Tapi, kau selalu tahu siapa yang memukuliku. Apa itu menurutmu adil?”

“Tak ada yang perlu kuceritakan.”

“Kau pikir aku mau mendengarnya? Aku hanya merasa kau sedang menginjak harga diriku karena berhasil mengancamku. Padahal aku bisa saja membiarkanmu melakukan hal itu padaku dan membalikkan keadaan dengan mudah saat itu juga.”

“Mengapa tak kau lakukan?”

Oh, sial! Aku lupa bahwa gadis ini benar-benar berbahaya. Bahkan ia tetap menanggapiku dengan dingin di saat seperti ini tanpa berhenti mengobatiku. Aku menghela nafas berat.

“Tidak akan ada yang seru lagi, jika aku melakukan hal itu. Lagipula, aku merasa sangat tidak adil karena kau sudah mengetahui rahasiaku sementara  aku sama sekali tidak mengetahui apapun tentangmu.”

“Aku menuruti semua perintahmu. Aku menjadi pembantumu tanpa kau bayar. Kurasa itu harga yang sepadan.”

“Kalau kau tak perlu menuruti semua perintahku, apa kau akan bercerita padaku?”

“Bukankah kau mengatakan kau tidak ingin mendengar ceritaku?”

Daebak! Bukankah ia pandai berdebat?

“Kau bekerja keras sekali untuk menutupi rahasiamu, nona. Aku jadi semakin yakin kau ini buronan.”

“Dan kau sudah membahayakan dirimu dengan menolong seorang buronan.”

“Apa aku terlihat tulus dalam menolong buronan itu?”

“Aku akan pergi dari sini sekarang juga. Tapi apa kau bisa membayar hutang sebesar 2 milyar?”

“Apa?”

“Lupakan! Aku tidak akan pergi dari sini secepat itu.”

Gadis yang benar-benar keras kepala. Tapi tunggu! Hutang 2 milyar? Apa yang ia katakan baru saja? Apa maksudnya ia memiliki hutang 2 milyar? Apa ia sudah gila memiliki hutang sebanyak itu? Memangnya ia menggunakan uang itu untuk apa? Gadis itu pasti benar-benar sudah gila.

*****

Aku baru saja menutup telepon dari salah satu gadis yang kutemui tempo hari dan sudah mendapati gadis menyebalkan itu memelototiku lagi. Ia benar-benar memiliki hobi yang aneh. Aku baru melanjutkan makanku yang tertunda saat ia meletakkan segelas air putih untukku.

“Aneh melihatmu mempermainkan para gadis itu dengan label bahwa kau sangat menyayangi ibumu. Apa itu caramu menghormati wanita? Apa kau memperlakukan ibumu seperti itu juga? Apa kau tak memiliki saudara perempuan? Apa kau tak pernah takut mereka juga bisa saja mengalami hal seperti yang kau lakukan pada gadis-gadis itu?”

“Dan aku baru saja tahu kalau kau bisa mengoceh sepanjang itu.”

Ia terdiam dan mengindahkanku. Bahkan ia beranjak pergi untuk mencuci piring yang kotor.

“Kau semakin ikut campur dalam urusanku nona.”

Aku bisa melihat tangannya yang praktis berhenti bergerak untuk beberapa saat sebagai respon atas ucapanku. Lalu, “Kau bilang hanya beberapa hari. Tapi ini sudah lebih dari seminggu. Kau mau tinggal di sini sampai berapa lama lagi? Aku sudah hampir kehabisan kesabaranku.”

“Aku akan menutup mulutku. Jadi, bertahanlah sedikit lebih lama lagi.”

“Bicara tentang ibu, apa ibumu sendiri tak khawatir kau berada di sini denganku? Apa kau sudah memberitahunya tentang keadaanmu sekarang yang sedang menjadi buronan?”

Kali ini ia tak hanya berhenti bergerak tapi juga menjatuhkan piring yang semula berada dalam genggaman tangannya. Cukup mengejutkan. Apa karena pertanyaanku tentang ibu? Apa ibunya sudah meninggal?

“Sudah kuputuskan untuk tidak ikut campur urusanmu. Jadi sebaiknya, kau pun begitu.”

“Aku hanya bertanya tentang ibumu. Apa itu pun sulit untuk kau jawab?”

Ne (ya).”

Jawaban yang sangat cepat. “Wae?”

“….”

Wae?”

Ia melepas sarung tangan karet dan membantingnya ke bak pencucian. Lantas berbalik dan menatapku dengan…entahlah. Aku tak bisa menjelaskannya. Apa ia akan menangis sekarang? Dan ada apa dengan sorot mata tajamnya itu? Mengapa sekarang sorot mata itu berubah menjadi seakan aku yang telah melukainya dengan pertanyaanku?

“Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan tentang ibuku sementara aku bahkan tak pernah mengingat kenangan bersamanya?”

“Ne?”

“Aku sudah menceritakan satu rahasiaku. Kita impas.” Ia pun beringsut dari hadapanku dengan wajah seperti itu. Terluka….

Aku tertegun. Tak ada yang bisa kukatakan. Ucapannya kembali terngiang. Wajah dinginnya yang tiba-tiba berubah penuh luka itu terus membayangiku. Tak pernah mengingat kenangan dengan ibunya? Wae? Apa ibunya sudah meninggal atau ada alasan lain? Mengapa gadis itu tak pernah berbicara dengan jelas? Mengapa ia selalu membuatku pusing?

*****

Firasat yang mengatakan bahwa gadis itu buronan kelas kakap semakin nyata saja. Lihat saja bagaimana ia berpakaian saat kuajak keluar. Menggunakan jaket dan mengenakan capucon hingga menutupi separuh wajah serta masker penutup mulut. Gadis ini benar-benar! Apa yang ada di otaknya itu?

Aku menarik capucon gadis itu hingga terlepas. Ia mendesis kesal. Aku tersenyum meledeknya.

“Aku seperti sedang berjalan dengan seorang pencopet, jika kau memakainya seperti itu.”

“Kalau begitu, anggap saja kau adalah seorang pengawal artis yang sedang berkeliaran di pusat perbelanjaan.”

Mwo? Micheoseo?”

“Jawabannya masih selalu sama.”

Aku menghela nafas jengah. Ada apa dengan gadis ini? Apa ada pisau di dalam mulutnya? Mengapa setiap ucapannya begitu tajam? Ucapannya juga selalu mengesalkan. Sepertinya aku sudah salah karena terus saja memancingnya untuk berbicara. Ia benar-benar lebih baik tetap menutup mulutnya seperti awal kita bertemu.

Aku hanya sedang mengajaknya menemaniku berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan. Sebenarnya tidak banyak yang ingin kubeli. Aku mengajaknya hanya karena merasa iba padanya yang selalu berada di dalam apartement dan terkurung di sana. Aku terlihat jahat sekali, jika terus membiarkannya begitu. Tepatnya, aku terdengar seperti seorang penculik dan ia tawanannya. Tapi alih-alih hanya ingin membeli kalung untuk salah satu kekasihku, gadis itu justru membuatku kesal hingga muncul niatku untuk mengerjainya. Aku pun terpaksa membeli beberapa pakaian yang tak terlalu kubutuhkan. Dan aku pun berhasil mengerjainya yang harus berakhir dengan menjinjing begitu banyak barang belanjaanku. Tapi…sepertinya ini masih kurang.

“Kita mau kemana?” Ia mulai bertanya saat menyadari kemana aku berbelok.

“Toilet. Aku sudah tidak tahan lagi.”

Mwo?”

Aku pun menghentikan langkah tepat di ambang pintu toilet pria dan menunjuk ke bawah. “Kau harus menungguku tepat di sini. Kau tak boleh pergi kemanapun kalau tak ingin kutuduh sudah mencuri semua barang belanjaanku. Algaetseo?

“Mwo? Neo—.”

“Astaga! Aku sudah tidak tahan lagi.”

Aku pun segera berlari ke dalam toilet dan meninggalkannya begitu saja. Rasakan! Itu hukuman karena kau sudah membuatku kesal hari ini.

*****

# Yunji’s POV

Pria itu benar-benar sudah bosan hidup. Ia benar-benar membuatku melakukan semua kegiatan konyol ini. Apa ia benar-benar seorang manusia yang memiliki otak? Apa ia berniat menyumbangkan semua pakaian ini? Mengapa ia membeli tracksuit sebanyak ini? Otaknya pasti benar-benar sudah tidak waras, jika berniat untuk menggunakan semua pakaian ini hanya untuk dirinya sendiri.

“Yoo Yunji.”

Tiba-tiba saja aku ingin menjadi uap. Sungguh. Suara itu membuatku tak bisa bernafas. Membuat sekujur tubuhku gemetar ketakutan. Kumohon katakan ini semua hanya mimpi.

Aku bisa merasakan seseorang mencengkram lenganku dan menarik capucon-ku hingga terlepas. Aku sama sekali tak berani untuk mendongak menatapnya. Ini terlalu menakutkan bagiku.

“Aku benar. Itu memang kau…Yoo Yunji. Oremania uri dongsaeng (lama tak berjumpa denganmu, adikku).

Ini nyata. Cengkraman tangan Barom yang begitu kuat pada lenganku benar-benar membuat harapanku hancur. Ini nyata. Tolong aku! Kumohon! Sunggyu~ssi, eodiya (kau dimana)? Ppali nawa (cepatlah keluar)! Tolong selamatkan aku! Aku tak mau kembali merasakan takut dan sakit itu lagi. Tidak untuk saat ini. Aku belum siap. Jebal….

“Woah! Sepertinya kau berbelanja cukup banyak. Ah, tidak. Tapi sangat-sangat banyak. Siapa pria itu? Sepertinya ia orang kaya. Apa kau tinggal bersamanya sekarang? Daebak! Ini baru yang disebut adikku. Kau mendengarkan kakakmu ini dengan sangat baik rupanya. Mengapa tak kau melakukannya sejak dulu, eo? Pasti sekarang hidup kita sudah jauh menjadi lebih baik.”

“Singkirkan tanganmu,” pintaku dengan suara bergetar.

“Adik yang nakal!” Barom memukul kepalaku dengan keras bahkan ketika ia mengeluarkan suara semanis itu. Ya, itulah Barom. Barom yang selalu berhasil membuatku ketakutan. “Kau selalu kasar pada kakakmu ini. Sama sekali tidak tahu berterimakasih. Setelah mendapatkan pria kaya berkat saranku, kau mau mencampakan satu-satunya keluarga yang memperdulikanmu ini, eo? Adik macam apa kau ini?”

“Pria itu tak ada hubungannya denganku.”

“Benarkah? Tapi aku tak merasa seperti itu.”

“….”

“Aku akan melepaskanmu kali ini. Tapi berikan dulu aku uang. Aku tak punya uang sama sekali untuk mencari ibu.”

Apa yang ia lakukan? Apa di otaknya hanya ada uang? Setelah menemukanku lagi, mengapa ia tak pernah bertanya tentang keadaanku? Apakah aku hidup dengan baik? Apa yang membuatku menghilang? Apa aku hidup dengan orang yang baik sejauh ini? Mengapa  tak pernah muncul kata-kata seperti itu dari mulutnya? Benarkah ia kakakku? Benarkah ia saudaraku? Benarkah dalam darah kami mengalir darah yang sama? Apakah seperti ini yang namanya persaudaraan?

“Hyaa! Yoo Yunji! Kau tak mau kita menemukan ibu agar hidup kita bisa lebih baik, huh?”

Mengapa? Mengapa kau selalu menggunakan nama ibu? Mengapa kau terus saja mengkhawatirkan seseorang yang tak pernah merawat kita? Mengapa kau justru memperdulikan orang yang telah meninggalkan kita? Mengapa aku yang berada di depan matamu tak pernah kau perdulikan, kak? Mengapa?

“Hyaa! Yoo Yunji! Saranghae (aku mencintaimu).” Lagi-lagi ia mengucapkan kata-kata manis dan mengubahnya hingga terdengar sebagai sebuah ancaman pembunuhan yang mengerikan. “Aku sudah merawatmu dengan baik selama ini. Tak seharusnya kau bisu dan tuli seperti ini adikku.

….”

“HYAA!!”

Barom kembali memukul kepalaku dengan keras. Entah mengapa aku tak bisa berteriak memanggil Sunggyu. Leherku terasa tercekat. Aku justru menggigit bibirku sekeras mungkin. Mengapa? Mengapa aku tak bisa berteriak?

“Apa yang kau lakukan padanya?”

Sunggyu? Itu suara Sunggyu, bukan? Aku benar. Itu suara Sunggyu. Suaranya membuat tubuhku yang semula hanya gemetar dan tak mampu bergerak, akhirnya kembali normal mendengarnya. Tolong aku, Sunggyu~ssi!

“Oh, sial!” umpat Barom. Ia mendorongku ke tembok dan dengan segera berlari meninggalkanku. Ia kabur. Tidak apa. Setidaknya aku berhasil lolos darinya saat ini.

Aku melihat Sunggyu berusaha mengejar Barom. Tapi ia berbalik dan menatapku yang jatuh tersungkur karena dorongan Barom tadi.

“Kau tak apa? Siapa pria itu? Apa ia perampok?” Sunggyu mencengkram kedua pundakku. Cengkraman yang berbeda dengan milik Barom. Kali ini terasa lebih lembut dan tak menyakitkan.

“Hyaa! Jawab aku! Katakan sesuatu!”

Aku tak bisa mengeluarkan suaraku sama sekali. Kurasa ini efek ketakutan berlebihan yang kualami baru saja dan juga rasa lega yang luar biasa. Ini benar-benar melegakan. Meski masih terasa begitu menakutkan.

“Apa yang ia lakukan padamu? Mengapa kau diam saja? Kau selalu melawanku, tapi mengapa kau justru diam saja diperlakukan yang tidak-tidak olehnya? Katakan padaku, apa yang ia lakukan padamu sampai kau tak mampu berkicau lagi, eo? Oh! Ppi (darah)! Bibirmu mengeluarkan darah. Apa ia menyakitimu?”

Aku menggeleng. Sebaiknya, aku tak membuatnya terlalu banyak bertanya saat ini.

“Apa ia salah satu pria yang selalu mengejarmu?”

Mengapa ia begitu peka dengan hal-hal seperti ini?

“Aku benar?”

Aku menggeleng lagi. Ia tak perlu tahu siapa Barom. Tidak untuk saat ini.

Jibe kajja (kita pulang saja).”

Jibe (rumah)?” Sunggyu terdiam untuk beberapa saat dan menatap wajahku lekat. Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi rasanya sorot matanya berubah. “Arratseo. Kita memang harus pulang.”

*****

# Daehyun’s POV

Aku berlari seperti orang gila saat menerima telpon dari Sunggyu. Ia bercerita tentang keadaan Yuna yang mendadak mengkhawatirkan sejak mereka pulang dari pusat pertokoan. Sunggyu juga bercerita bahwa Yuna sempat dianiaya oleh seseorang yang tak ia kenal saat ia meninggalkan gadis itu ke toilet dan setelah kejadian itu, Yuna bersikap aneh. Gadis itu kembali terdiam dan nampak seperti seseorang yang ketakutan.

“Aku tak bisa menemaninya karena jadwal kencan yang sudah ibu atur. Kau cepat pergi temui dia. Aku tak mau besok pagi ada berita yang tidak-tidak tentangku. Oh, ya! Bibirnya terluka. Tapi ia tak mau kuobati tadi. Jadi, kau harus berhasil membujuknya, eo?”

Nada suara Sunggyu benar-benar terdengar khawatir tadi. Karena itulah aku menjadi jauh lebih khawatir sekarang. Ia tak pernah terdengar sekhawatir itu selain karena ibunya.

Aku menghabur masuk ke dalam apartement Sunggyu dan mendapati semua lampu dalam ruangan tak dinyalakan sementara pintu menuju beranda terbuka lebar dengan angin kencang yang berhembus mengibarkan selambu. Ia pasti di sana. Dan benar saja, ia memang berada di sana. Duduk meringkuk di atas ayunan. Ia menatap menerawang ke langit dengan mata yang sembab dan sorot ketakutan yang nampak dalam matanya. Apa ia baru saja menangis? Apa yang terjadi sebenarnya?

Aku menarik nafas dalam mencoba menenangkan diriku sendiri. Lantas menghampirinya tanpa banyak bicara dan duduk di sisinya. Aku melirik jemarinya yang bergetar tanpa sengaja. Sepertinya ia menyadari itu sehingga menggenggam jemarinya. Tapi tak ada yang berubah. Aku bisa melihat tangannya juga bergetar. Bahkan sekujur tubuhnya. Luar biasanya, tubuhku juga turut gemetar. Lebih tepatnya, aku benar-benar ingin menggenggam tangan dan memeluk tubuh gadis ini saat ini juga. Ada apa dengannya? Mengapa ia seperti ini?

“Apa ada yang terjadi? Apa ada yang bisa kulakukan untuk membantumu?”

“Aku ingin menjadi uap.”

“Apa?”

“Kau tidak bisa membantuku, bukan?”

“….”

“….”

“Aku bisa membuatmu menjadi uap.”

Praktis, ia menoleh untuk menatapku dengan tak percaya. Aku tersenyum padanya. Lantas menunjukkan headphone-ku dan mengenakannya.

“Aku akan menganggapmu tak ada di sini. Aku tak akan melihatmu. Aku takkan mendengarkanmu. Apa itu cukup?”

“….”

“Aku anggap itu sebagai ya.”

Pada kenyataannya, aku tak benar-benar menjalankan pemutar musik di ponselku. Aku hanya mengenakan headphone tanpa ada musik yang mengalun dari sana. Aku hanya ingin tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini. Setidaknya, aku berharap hal ini bisa berhasil membuatnya merasa menjadi jauh lebih baik. Sebagai tambahan untuk meyakinkannya, aku bersenandung asal.

Seperti dugaanku, tak selang berapa lama Yuna benar-benar menangis. Awalnya hanya tangisan lirih, tapi semakin lama ia semakin menangis dengan keras. Ia terisak dengan keras. Bahkan ketika aku mencoba menyanyikan lagu-lagu konyol dengan nada tak jelas, ia tetap menangis dengan kencang. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku bahkan tak lagi bisa menahan keinginanku untuk memeluknya. Bolehkah?

Aku melepas headphone yang semenjak tadi kugunakan. Aku sudah tak tahan lagi. Aku terlampau kesal pada diriku yang merasa harus menahan diri untuk memeluknya. Entah mengapa, aku merasa ia terlalu jauh dan rapuh. Aku takut menyentuhnya. Tapi aku juga tak bisa melihatnya seperti ini. Pun tak bisa memintanya berhenti untuk menangis karena memang ini yang seharusnya ia lakukan sejak awal. Tanganku bergerak perlahan mendekatinya dengan gemetar.

“Menangislah,” ujarku seraya meletakkan tanganku di puncak kepala Yuna. Ini menyebalkan. Aku hanya bisa membelai rambutnya dan berharap semua ini bisa mengurangi ketakutannya.

Museowo (aku takut). Neomu museowo (benar-benar takut), Daehyun~ssi. Neomu museowo. Dowajuseyo jebal (kumohon tolong aku).”

*****

“Ma’af,” ujarku saat Yuna memekik lirih menahan sakit begitu aku mengobati luka di bibirnya yang Sunggyu maksudkan tadi. “Mengapa bibirmu jadi seperti ini? Apa orang itu yang melakukannya padamu?”

Ia menggeleng. “Aku menggigitnya sendiri.”

Mwo? Keundae waeyo (tapi mengapa)?”

Lagi-lagi ia tak menjawabku. Aku benar-benar yakin seseorang yang ia temui tadi bukan sekedar penjahat yang memang tanpa sengaja memilihnya menjadi korban. Pasti ada sesuatu sehingga membuatnya ketakutan dan memilih untuk menggigit bibir sekuat ini. Tunggu! Tapi mengapa ia memilih untuk menggigit bibir sendiri dan bukannya berteriak meminta tolong? Bukankah ini terdengar semakin aneh?

“Apa kau yakin tak ada yang ingin kau ceritakan padaku?”

Ia kembali menggeleng. “Ini tak semudah yang kau bayangkan, Daehyun~ssi.”

“Benarkah? Memangnya seberapa berat?”

“Kau takkan bisa menimbangnya.”

“Mungkin. Tapi dengan bercerita, setidaknya kau bisa mengurangi sedikit beban itu. Itu hal yang kutahu selama ini.”

“Benarkah?” Ia menatapku dengan penuh harapan. Aku tak pernah tahu ia bisa menatap dengan cara seperti itu.

Eo. Kau mau mencobanya?”

Ia terdiam dan menatapku beberapa saat. Aku tahu ia tengah mempertimbangkannya. Mungkin ini lebih berat dari apa yang pernah kubayangkan.

“Apa kau memiliki saudara Daehyun~ssi?”

Eo. Seorang adik perempuan yang sangat cantik sekaligus benar-benar mengesalkan. Meskipun begitu, aku sangat menyayanginya. Waeyo?”

“Apa kau pernah memukulnya saat ia membuatmu sangat, sangat, dan sangat kesal?”

“Tentu saja tidak. Bagaimanapun juga ia adalah adikku yang sangat, sangat, dan sangat aku sayangi. Lagipula, aku tak memukul perempuan.”

“Benarkah?”

“Tentu saja. Waeyo?

“Bahkan saat ia tak memberimu uang?”

“Uang? Untuk apa ia memberiku uang? Ia adikku.”

“Jadi kau pun takkan memukulnya saat ia tak melakukan kesalahan apapun padamu?”

“Itu sudah pasti. Ia tak bersalah apapun. Bahkan saat bersalahpun aku takkan memukulnya. Mungkin aku hanya akan mencubit hidungnya. Itu saja.”

Aku mengangguk kali ini. Perlahan, aku berusaha mencerna cerita yang ia sampaikan secara tersirat ini. Ada sesuatu. Apa ia memiliki seorang kakak yang selalu memukulnya?

“Adikmu benar-benar beruntung memiliki kakak sepertimu.”

“Begitukah menurutmu?”

Eo.”

Aku tersenyum dan kembali mengacak puncak kepalanya. Ia jauh terlihat lebih baik sekarang dan kurasa aku menangkap maksud di balik pertanyaannya. Sebuah cerita yang mengejutkan dan aku rasa masih banyak kisah lain di baliknya.

“Tak ada lagi yang ingin kau tanyakan?”

Yuna menggeleng. “Aku lelah.”

*****

# Sunggyu’s POV

Aku hanya menatapnya yang tengah terlelap sepanjang malam ini di sofa ruang tamu. Aku juga sengaja tak menyalakan lampu satu pun. Bahkan aku masuk dengan sangat hati-hati ke dalam apartemenku sendiri semata demi menjaga gadis itu agar tetap terlelap. Apa sebenarnya yang tengah aku lakukan ini? Bukankah sekarang aku terdengar seperti orang gila? Aku menjaganya dan membiarkannya terlelap sementara aku sendiri terjaga tanpa mengalihkan perhatian darinya. Benar-benar bodoh. Ah, tidak. Tidak. Aku hanya takut ia terbangun dan kemudian melompat dari berandaku. Karena itu, aku menjaganya seperti ini. Benar. Seperti itulah kenyataanya.

Ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang sudah terjadi padanya? Siapa orang tadi? Apakah ia memang seorang perampok atau seseorang yang gadis ini kenal? Mengapa setelah itu ia terlihat begitu ketakutan? Apa yang orang itu lakukan? Mengapa ia tidak berteriak, jika orang itu melakukan sesuatu padanya? Mengapa ia melarangku melaporkan kejadian ini ke polisi? Argh! Gadis ini benar-benar bisa membuatku gila. Bagaimana bisa aku tak mengacuhkannya di saat ia selalu terlihat seperti ini di hadapanku? Dasar gadis menyebalkan!

Tanganku sudah mulai terangkat ingin menoyor kepalanya tapi, tangan ini berhenti begitu saja saat aku terngiang lagi beberapa ucapannya yang begitu mengganjal di otakku.

“Aneh melihatmu mempermainkan para gadis itu dengan label bahwa kau sangat menyayangi ibumu. Apa itu caramu menghormati wanita? Apa kau memperlakukan ibumu seperti itu juga? Apa kau tak memiliki saudara perempuan? Apa kau tak pernah takut mereka juga bisa saja mengalami hal seperti yang kau lakukan pada gadis-gadis itu?”

“Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan tentang ibuku sementara aku bahkan tak pernah mengingat kenangan bersamanya?”

“Aku akan pergi dari sini sekarang juga. Tapi apa kau bisa membayar hutang sebesar 2 milyar?”

Aku menghela nafas kera. Kau ini benar-benar menyebalkan! Kata-katamu selalu saja membuatku terdiam. Entah itu karena kesal atau justru karena semakin penasaran sehingga membuatku tak tahu harus memulai darimana untuk bertanya padamu. Dan lagi, dunia macam apa yang sebenarnya kau tinggali itu nona?

*****

Kubuka mataku saat mencium aroma makanan yang menggugah monster- monster kecil dalam perutku untuk berteriak kelaparan. Taukah kalian pemandangan apa yang kulihat di dapur? Tepat sekali. Aku melihat gadis itu yang tengah memasak dengan cekatan di sana. Apa-apaan ia itu? Apa ia sudah merasa jauh lebih baik? Mengapa justru memasak?

Aku baru akan membuka mulutku saat niat untuk tak bersuara tiba-tiba muncul. Aku memilih untuk terdiam dan mengamatinya yang tengah sibuk memasak. Ia tak melihat ke arahku sama sekali dan justru nampak begitu menikmati kegiatannya. Apa ia sudah melupakan betapa takutnya ia kemarin?

Ada yang aneh. Mengapa aku begitu menikmati menatap punggungnya itu? Punggungnya yang tengah sibuk memasak. Apa ini sungguh diriku? Aku tak pernah membiarkan seorang gadis pun yang membuatku tertarik menganggur begitu saja. Bukankah ini aneh? Aku tak ingin mengganggunya saat ini.

*****

“Sunggyu~yah, apa ia pernah bercerita tentang sesuatu padamu?”

Wae? Apa kau menemukan sesuatu semalam?

Eo. Ada sesuatu yang aneh.”

Mwoga (apa itu)?”

Daehyun terdiam untuk beberapa saat dan hanya terfokus pada bola yang terus terlontar ke arahnya. Saat ini, kami tengah berada di salah satu arena olahraga squash. Karena memang ini adalah agenda mingguan kami.

“Hyaa! Jung Daehyun! Cepat katakan sesuatu! Jangan membuatku penasaran!”

Bukannya sesegara mungkin menjawab pertanyaanku, Daehyun justru semakin getol memukul bola tanpa memberiku kesempatan sama sekali. Ia benar–benar membuatku jengah. Mengapa akhir-akhir ini semua orang suka sekali membuatku kesal? Aku baru saja hendak menghardik Daehyun lagi saat ia sudah mendahuluiku untuk membuka mulut.

“Apa yang ia katakan padamu?”

Giliranku yang terdiam. Aku mengingat kembali ucapan gadis itu tempo hari yang masih sangat jelas kuingat. Tapi aku tak segera menjawabnya dan memilih untuk memukul bola yang kini menghampiriku.

“Ia mengatakan sesuatu yang aneh padaku. Ia menyebut tentang hutang 2 milyar dan ibu yang tak pernah ia ingat.”

“Hutang 2 milyar dan ibu yang tak pernah ia ingat?”

Eo. Bukankah itu aneh? Apa menurutmu ia dikejar oleh debt collector atas hutang sebanyak itu? Tapi untuk apa ia gunakan uang sebanyak itu? Bahkan ia hanya seorang pegawai part time.

“Itu yang aneh.”

“Lalu apa yang ia ceritakan padamu?”

“Ia menangis dan mengatakan kalau ia sangat ketakutan. Ia memintaku menolongnya. Tapi setelah itu, ia tak membahas lagi mengapa ia takut dan menolak untukku tolong.”

“Apa-apaan itu? Gadis itu masih bisa bersikap keras kepala di saat seperti itu?”

“Dan satu hal lagi yang aneh. Ia mengajukan beberapa pertanyaan padaku tentang hubunganku dengan adikku.”

“Adikmu? Memangnya ia mengenal Dae Hee?”

Daehyun menggeleng. “Ia sedang menceritakan sesuatu dari pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan padaku. Kurasa aku bisa mengerti maksud apa yang ingin ia sampaikan.”

“Memangnya ada maksud apa?” Aku berhenti menunggu bola datang padaku dan memilih menatap Daehyun intens.

“….”

“Hya! Jung Daehyun! Jawab aku! Mengapa kau terdiam lagi?”

“….”

“Hyaa!”

Akhirnya bocah itu berhenti juga dan menangkap bola yang melaju ke arahnya dengan tepat. Ia melemparkan bola itu padaku dan kutangkap juga dengan tepat.

“Aku harus pergi. Aku ada janji”

“Hyaa! Jung Daehyun! Apa-apaan kau ini?  Jugullae (kau cari mati, ya)?”

Daehyun tetap tak mendengarkanku. Ia tetap pergi dan bahkan tanpa menoleh ia masih sempat berteriak, “Jangan membawanya keluar lagi! Ingat itu! Eo? Khanda (aku pergi).

Dan ia benar-benar kabur begitu saja membiarkanku dengan segala pertanyaan yang masih menggelayut di otakku. Menyebalkan!!!

*****

Aku terpaku di tempat saat mendapati gadis itu tengah duduk di hadapan pianoku dan menekan tutsnya hingga menghasilkan alunan lagu yang kuciptakan sepekan lalu dengan melihat pada kertas coretan yang memang belum kusingkirkan dan kuminta padanya untuk tak menyingkirkannya. Aku tak pernah tahu bahwa gadis pekerja part time bisa memainkan piano sebagus itu.

Aku hanya terus berdiri hingga menunggunya menyelesaikan permainannya. Aku ingin melihat seberapa jauh kemampuannya itu dan sungguh di luar dugaanku, ia memainkannya dengan sangat baik.

“Permainanmu tak seburuk dugaanku, nona.”

Ia nampak tersentak kaget dan menatapku dengan mata bulatnya yang kian melebar. Tentu saja ia terkejut seperti itu karena aku memang baru pulang dan ia terlalu asik memainkan piano sehingga tak menyadari kehadiranku.

“Tatapanmu menyakiti hatiku, nona.” Aku menyentuh dadaku sebelah kiri dan berakting kesakitan.

Ia berkedip dan nampak salah tingkah. Ia seperti seorang maling yang tengah tertangkap basah. Benar-benar lucu!

“Tetap di situ!” Aku memerintah seraya menghampirinya saat ia hendak beranjak pergi. Lantas menekan pundaknya hingga ia kembali terduduk di kursi panjang itu.

“Ma’af,” ujarnya seraya menunduk seakan aku akan melaporkannya ke polisi karena sudah memainkan piano serta laguku tanpa izin.

Aku mendengus saat mendapatinya yang melirikku aneh. “Mengapa melirikku seperti itu? Aaa…. Aku  tahu. Parfum wanita?” tebakku mengarah pada aroma yang menempel di pakaianku. Ini adalah aroma parfum wanita yang kudapatkan berkat ulah gadis yang kukencani semalam yang dengan sembarangnya menyemprotkan parfumnya ke pakaianku.

Gadis itu menatapku lagi dengan mata yang jauh lebih melebar disertai kerutan di kening sekarang. Aku berdecak tak habis pikir. Mengapa aku merasa sangat-sangat kesal hanya dengan melihat tatapan menuduhnya itu?

“Berhenti melebarkan matamu dan menatapku seakan aku ini seorang penjahat!”

Ia tak lagi memelototiku. Tapi aku justru semakin kesal.

“Kau…memiliki kepribadian ganda?”

“Apa?”

Ia baru saja membuka mulut dengan kata-kata yang sedikit lebih panjang dan dengan cerdiknya sudah berhasil membuatku merasa berkali lipat menjadi lebih kesal? Cih! Wanita macam apa ia ini?

“Maksudku sejenis orientasi untuk menjadi….”

Aku menyentil keningnya dengan keras hingga ia merintih kesakitan seraya mengelus keningnya itu.

“Terkadang aku merasa memang sebaiknya kau tak perlu terlalu banyak bicara.”

Ia kembali menunduk dan menutup mulut rapat-rapat. Nampak sangat kesal padaku.

“Kau pikir aku tidak pulang semalam karena apa? Tentu saja karena berkencan dengan wanita. Lalu tidur dengannya. Jadi, jangan katakan kau ingin tahu apa yang kami lakukan ketika tidur bersama, eo? Dan berhenti berpikir tentang hal-hal yang  tak masuk akal lagi tentangku!

“….”

Aku menghela nafas. Baiklah. Sepertinya ia memang mendengarkan kata-kataku dengan baik untuk tetap diam. Bahkan ia tak mau menjawabku hanya dengan sebuah anggukan. Gadis ini benar-benar!

“Coba ulang lagi!”

Ia menatapku dengan kening berkerut samar.

“Mainkan lagu ini.” Aku menunjuk kertas yang ia gunakan sebagai contekan tadi.

Kali ini, ia menggeleng.

Wae?”

Ia menggedikkan bahu. Apa-apaan gadis ini? Baiklah kalau ini maumu. Aku tersenyum separuh. Lantas dengan cepat, mendekatkan wajahku pada wajahnya. Ia menarik kepala ke belakang dengan cepat dan aku menangkap lengannya dengan cepat juga. Ia berusaha berkelit. Tapi tak menghasilkan apapun.

Kami hanya terdiam beberapa saat dan saling bertatapan seperti yang terjadi dalam drama. Bukankah ini pose yang paling manis dan kerap membuat sang tokoh wanita secara otomatis jatuh hati pada sang pria?  Lihatlah saja! Bahkan ia tak berkedip sekarang. Berani bertaruh, ia tengah menahan nafasnya saat ini.

“Hya, nona, aku hanya memintamu untuk memainkan piano bukan untuk tidur denganku. Mengapa begitu saja kau mau membuatku sampai ingin melakukan sesuatu padamu?”

“Kau—.” Tiba-tiba saja ia kembali terdiam. Bibirnya nampak bergetar kesal. Pasti sedang mengumpatku mati-matian dalam hati. “Baiklah. Akan kumainkan. Kau puas?” Ia menarik lengannya dari cengkramanku dan kali ini berhasil.

“Sangat. Seharusnya kau melakukan itu dari tadi.” Aku pun duduk di sampingnya dan membiarkan ia memainkan lagu itu lagi.

Untuk beberapa saat, aku hanya mendengarkan seksama permainannya. Tapi untuk selanjutnya, aku turut menekan tuts piano di hadapanku. Menyelaraskan permainan kami berdua.

Ia menatapku dengan kening berkerut tanpa membiarkan jemarinya berhenti menari. Aku tersenyum seraya melirik pada piano sebagai tanda bahwa ia tak perlu berhenti. Kita hanya perlu menyelesaikan lagu ini hingga akhir. Dan aku pun berakhir dengan terkesima pada permainannya yang tak mengecewakanku sama sekali.

Daebak! Kau benar-benar penuh kejutan, nona.”

“….”

“Dimana kau belajar memainkan piano?”

“….”

“Hyaa! Aku bertanya padamu. Mengapa kau tak menjawabnya?”

“Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa sebaiknya aku tak perlu terlalu banyak bicara.”

Astaga! Gadis ini benar-benar membuatku frustasi. Oh! Darahku! Aku benar-benar ingin meremas wajah dinginnya yang sangat menyebalkan itu.

“Kau benar. Sebaiknya kau tetap diam. Karena jawabanmu baru saja itu sudah benar-benar membuatku kesal,” ujarku seraya menyentuh tengkuk belakangku. “Masakan aku makanan! Aku lapar.”

*****

Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi yang pasti, ada suatu perubahan. Tidak. Aku masih suka berkencan dan tidur dengan gadis-gadis itu. Hanya saja…, aku selalu ingin segera pulang. Biasanya aku benar-benar benci mereka membangunkanku di pagi hari. Tapi kini tidak. Bahkan sebelum mereka terbangun, aku sudah meninggalkan mereka yang masih terlelap kelelahan hanya untuk melihat pemandangan di hadapanku saat ini. Melihat punggung gadis itu yang tengah sibuk memasak. Aku menyukai pemandangan ini.

Ia terlihat serius. Tapi begitu menarik. Entahlah. Aku tak benar-benar bisa menjelaskannya dengan baik. Yang pasti aku merasa suka melihat pemandangan ini. Dan lagi, makanan buatannya benar-benar enak. Khas sekali rasa masakan rumah. Meskipun ia tetap saja seorang gadis yang membuatku kerap kesal setiap ia membuka mulut dan memelototkan matanya padaku.

“Aku dengar Daehyun sering datang akhir-akhir ini,” Langkahnya terhenti saat mendengar ucapanku itu. “Anjo (duduklah)!” Aku menunjuk kursi yang berada di seberangku. Tapi ia menggeleng.

Arraso. Kalau begitu, apa yang kalian berdua lakukan? Mengapa ia jadi sering datang ke sini bahkan tanpa mengabariku?”

Ia menggedikkan pundak. Aku menghela nafas jengah. Aku benar-benar sudah berada di ambang batas kesabaranku. Ketika ia berbicara ia membuatku kesal. Tapi ketika ia hanya diam seperti ini, ia membuatku jauh lebih-lebih kesal lagi.

“Bicaralah! Kau membuatku jauh lebih merasa kesal, jika seperti itu.”

Ia menggeleng. Ya, Tuhan! Apa salahku?

“Kau sudah kuberi ijin untuk bicara, jadi bicaralah!”

“Aku bicara atau tidak, itu bukan karena maumu.”

Lihatlah! Sudah kukatakan bahwa sekali gadis ini membuka mulutnya, ia benar-benar membuatku kehabisan kata-kata.

“Selamat pagi semua!” Suara sapaan riang itu sudah bisa dipastikan berasal dari Daehyun. Karena hanya ia satu-satunya orang yang bisa melakukan itu di sini.

“Hya! Jung Daehyun! Mengapa lagi-lagi kau datang ke sini pagi-pagi sekali? Bukankah sudah kularang?”

“Aku tidak ke sini untuk menemuimu dan juga bukan untuk sarapan gratis.”

Mwo?”

Ia melirik gadis itu yang mulai menyiapkan makanan untukku. Aku sama sekali tak menyukai cara Daehyun menatap gadis itu. Sama sekali. Aku juga tak suka senyumnya pada gadis itu. Sama sekali.

“Yuna~ssi, kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu bukan?”

Aku melirik gadis itu dan ia mengangguk. Aku kembali mengalihkan perhatianku pada Daehyun yang mulai menghampiri gadis itu dan meraih tangannya. Apa-apaan ini?

“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

Apa? Ke suatu tempat? Memangnya ia mau membawa gadis menyebalkan itu kemana? Ini semakin menyebalkan saja! Dan yang lebih, lebih, dan lebih mengesalkan lagi, gadis itu menuruti saja ajakan Daehyun yang menarik tangannya. Ini tidak bisa dibiarkan.

Aku bangkit dari kursiku dan segera menyusul Daehyun sebelum ia benar-benar menyeret gadis itu keluar. Aku berhasil mencengkram lengan gadis itu yang bebas dan membuat langkah mereka berdua terhenti. Daehyun dan gadis itu menatapku dengan kening berkerut samar. Aku menatap Daehyun tajam.

“Kau tak bisa membawanya pergi tanpa ijinku, Jung Daehyun.”

To be continued

And please leave your review, dear…. ^^

31 thoughts on “[FF G] Rose | Chapter 5

Leave a reply to Karra Cancel reply