[Chaptered] Rose (Chapter 11)


PicsArt_02-11-09.26.05

Songwriter: BlankDreamer | Title : Rose | Length : Multi Chaptered | Rate : PG17 | Genre : Romance, AU, Hurt, Drama | Cast : Yoo Yunji aka Yoo Yuna (OC), Sunggyu Infinite as Kim Sunggyu (OOC), Rome C Clown as Yoo Barom (OOC), Daehyun B.A.P as Jung Daehyun (OOC), And Others

***

Happy Reading and don’t forget to leave your Review My Beloved Readers! Dont be silent readers… and dont copy paste without permition

Author’s Note : Chapter ini panjang ya…. Semoga ga bosen aja bacanya

List Chapter 1 , 2 , 3 , 4 , 5, 6, 7, 8, 9, 10

Cerita Sebelumnya

Gadis itu mencoba menghangatkan kedua telapak kakinya. Tapi ia tetap merasa kedinginan. Ia tak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. Jadi, ia menangis sekeras-kerasnya. Ia menyesali semuanya. Bahkan, ia tak bisa memilah apa saja yang telah ia sesali. Apakah ia telah menyesali sudah membiarkan dirinya larut akan kehangatan yang Sunggyu tawarkan sejauh ini ataukah menyesali telah meninggalkan lelaki itu? Atau bahkan mungkin menyesali tak membiarkan pria itu melakukan semua hal demi dirinya? Ia terus menggumamkan kata maaf dalam sela isak tangisnya. Ia tak tau apalagi yang harus dilakukan dan bagaimana menghadapi pria itu esok hari. Ia hanya bisa menangis untuk saat ini.

“Kau meninggalkan mantelmu, Nona Yoo.”

Yunji sontak tersentak kaget. Ia segera menoleh dan mendapati Daehyun sudah berdiri di belakangnya seraya memakaikan mantel padanya.

“Daehyun-ssi?”

***

Pria itu memamerkan senyumnya yang selalu dengan penuh kehangatan. Yunji masih tak mempercayai dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa pria itu ada di sini? Apa ia sedang berhalusinasi?

Setelah mengenakan mantel pada Yunji, Daehyun berdiri di hadapan gadis itu lantas jongkok dan mengamati wajah Yunji yang masih dibasahi air mata. Ia tau apa yang baru saja terjadi dan menyebabkan gadis itu menangis. Daehyun sendiri merasakan sesuatu di balik dadanya terasa sesak menyaksikan hal itu. Belum lagi, ia harus melihat Yunji yang menangis. Tapi suatu alasan di balik tangisan gadis itu adalah hal yang paling tak ingin ia pikirkan atau mungkin tepatnya, ia tak mau mengakui arti di baliknya.

Tangan lelaki itu perlahan menghapus jejak air mata Yunji dengan lembut. Kemudian, menangkup wajah gadis itu agar kedua mata mereka bertemu dan ya, Daehyun tau arti dari sorot mata itu. Gadis itu seakan sedang menceritakan isi hatinya. Meski, ia sedang berusaha keras untuk menutupinya.

“Jangan menangis lagi! Kau sudah terlihat sangat cantik malam ini.”

Yunji tak mampu menjawabnya. Tapi ia tersenyum tipis. Suaranya sendiri masih tertahan oleh sisa sesenggukan dari tangisnya.

“Saljunya turun semakin lebat.” Daehyun meraih sepatu Yunji yang diletakkan di sisi gadis itu dan perlahan memakaikannya kembali. “Masih bisa berjalan tidak?”

“Mengapa—.”

Daehyun tersenyum karena Yunji tak berhasil melanjutkan ucapannya yang terganggu oleh senggukannya. “Mungkin aku memang ditakdirkan datang untuk menjadi superhero-mu malam ini.”

Yunji melirik kedua kakinya. Sial! Daehyun selalu saja melihatnya saat sedang menangis. Sialnya lagi, kedua kakinya masih terasa kebas. Ia berusaha berdiri. Tapi kembali terduduk.

“Kakimu pasti keram karena kau berlari tanpa alas kaki di malam bersalju seperti ini.”

Yunji tak bisa berkata apapun. Semakin banyak hal yang mengitari kepalanya sekarang. Termasuk terkejut akan kehadiran Daehyun yang begitu mendadak. Apa mungkin pria itu melihat semua yang sudah terjadi antara ia dan Sunggyu?

“Maaf. Tapi aku harus melakukan ini,” ujar Daehyun yang kemudian membopong Yunji.

Tak ada yang Yunji bisa lakukan ataupun katakan. Ia hanya akan membiarkan Daehyun membawanya pergi. Karena hanya pria ini yang bisa menolongnya saat ini.

“Tunggu!”

Sontak, Yunji dan Daehyun sama-sama menoleh ke arah asal suara. Mereka pun melihat Sunggyu yang sedang berlari menghampiri keduanya dengan terengah-engah.

“Apa yang terjadi dengannya? Apa ia terluka?” cecar Sunggyu karena panik melihat Yunji yang berada dalam gendongan Daehyun.

“Kakinya keram karena kedinginan.”

“Apa? Biar aku yang menggendongnya. Aku akan membawanya ke rumah sakit.”

Tapi Daehyun justru melangkah mundur saat Sunggyu berusaha mengambil alih Yunji darinya.

“Aku yang akan membawanya,” tegas Sunggyu karena Daehyun dengan kentara sekali menolak idenya.

“Yunji-ssi hanya akan pergi denganku.”

Daehyun melirik Yunji yang berada dalam gendongannya. Rupanya, gadis itu juga sedang menatapnya dengan tatapan memohon. Gadis itu sepertinya masih belum siap untuk menghadapi Sunggyu saat ini.

“Hanya jika Yunji-ssi menginginkannya. Bagaimana menurutmu, Yunji-ssi?”

“Yunji-ssi, kita datang bersama dan pergi pun bersama. Dan lagi, kau tau masih ada yang harus kita bicarakan,” bujuk Sunggyu. “Kau tidak bisa pergi begitu saja tanpa menjelaskan apapun padaku, bukan?”

Tapi na’as, gadis itu tetap bungkam. Bahkan Yunji justru memalingkan muka dan menyembunyikan wajahnya pada pundak Daehyun dan membuat hati Sunggyu semakin hancur karenanya. Gadis itu juga mengeratkan gigi-giginya dan menahan mata untuk tak berkedip agar air matanya tak kembali jatuh.

“Yunji-ssi, kau sungguh tak mau pergi denganku? Kumohon….”

Kali ini, giliran jemari Yunji dengan erat mencengkram bagian belakang pakaian Daehyun hingga lelaki itu menyadari bahwa Yunji benar-benar ingin segera pergi dari sana. Gadis itu tak bisa berpikir saat ini. Hatinya terasa sakit. Meski pernyataan cinta Sunggyu begitu membuatnya bahagia. Tapi pernyataan itu jugalah yang membuatnya sesakit ini sekarang. Karena ia tak bisa membayangkan kenyataan yang harus dihadapi kedepannya dengan segala perbedaan di antara mereka.

“Kurasa ia tak menginginkannya untuk saat ini, Sunggyu-yah,” ujar Daehyun yang kemudian berbalik pergi meninggalkan Sunggyu yang terpaku di tempatnya.

“Yunji-ssi! Kumohon maafkan aku! Maafkan aku jika itu menyinggungmu. Tapi kumohon dengarkan penjelasanku!” teriak Sunggyu putus asa.

*

*

*

“Apa tidak apa-apa kau bertemu dengannya nanti?”

Yunji mengangguk. Setelah menenangkan dirinya semalam, siap tidak siap ia memang harus menghadapi Sunggyu. Tak bisa ia menghindari lelaki itu terus-menerus. Setidaknya, untuk saat ini.

“Apa kau mau kita bertukar tempat atau mengubah jadwal penerbangannya?”

Kali ini, gadis itu menggeleng. “Tidak perlu. Lagipula, aku tak mungkin terus menghindarinya.”

Daehyun tersenyum sekaligus menghembuskan nafas lega. “Syukurlah. Aku yakin ia juga sudah lebih tenang hari ini. Kalian bisa membicarakannya baik-baik, bukan?”

Tiba-tiba saja, Yunji merasakan pipinya memanas. Astaga, kata-kata Daehyun entah bagaimana mengingatkannya pada kejadian semalam. Pria itu pasti melihatnya. Melihat ia yang sedang… sedang….

“Ah! Kita harus masuk ke dalam pesawat. Sudah saatnya boarding. Kajja, noona!” ujar Daehyun seraya membantu Yunji membawa kopernya.

*

*

*

Sunggyu menjadi panik ketika Yunji tiba dan duduk di sampingnya. Ia segera duduk dengan tegak dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan seraya melemparkan pandangan ke luar jendela. Ia sedang mempersiapkan hatinya.

Noona, kalau pria di sebelahmu itu melakukan kejahatan padamu, kau tau apa yang harus kau lakukan, bukan?”

Noo..noona?” Sunggyu tergagap karena terkejut, kesal sekaligus tak terima Daehyun memanggil Yunji seakrab itu.

“Tempat dudukku ada di belakangmu, noona. Jangan khawatir!” seloroh Daehyun yang kian mengundang tatapan mengancam Sunggyu padanya. Tapi ia tak perduli. “Baiklah. Aku pergi. Kubiarkan kali ini noona berdua denganmu. Tapi entah untuk lain kali,” lanjutnya yang kemudian menutup ruang kabin Sunggyu dan Yunji.

Noo…na? Kau membiarkan dia memanggilmu begitu?”

“Itu bukan urusanmu.”

Yunji menutup mulut Sunggyu dalam satu kali serangan. Lelaki itu mendadak kehilangan kata-katanya yang sudah terangkai rapi. Oh, tidak! Yunji lagi-lagi membuatnya kehilangan hal itu. Suasana pun berubah menjadi canggung dengan kepergian Daehyun. Ini benar-benar kali pertama bagi Sunggyu merasa sekikuk ini berhadapan dengan seorang wanita. Biasanya ia begitu santai dan tak memiliki banyak kecemasan. Tapi Yunji benar-benar sebuah pengecualian untuknya. Bahkan air mata gadis itu selalu membuatnya tak berani banyak bertindak. Karena ia takut akan semakin membuat gadis itu terluka. Terlebih, ia benar-benar tak mengerti dengan arti air mata gadis itu semalam.

“Kakimu sudah membaik?” Sunggyu berusaha membuka percakapan di antara keduanya dan Yunji hanya menjawabnya dengan satu anggukan kepala. “Syukurlah Daehyun menjagamu dengan baik. Kalau tidak, akan kuhajar bocah itu.”

“Daehyun-ssi selalu menjagaku dengan baik.”

“Apa aku tidak?”

“Bolehkah aku tidur? Aku lelah,” ucap Yunji dengan tatapan serius pada Sunggyu. Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, ia segera memejamkan mata.

Yunji masih tak tau harus bicara darimana dengan pria itu. Sementara, ia merancang kata-kata dalam otaknya, Sunggyu masih menatapnya dengan tak percaya.

“Apa kau marah padaku? Apa kau tak ingin menjelaskan apapun padaku? Apa kau akan membiarkanku terus bertanya-tanya mengapa kau menangis semalam? Apa kesalahan yang sebenarnya sudah kulakukan? Kupikir kau juga menerima ciumanku semalam. Kupikir kita saling—.”

Yunji mendesah keras hingga memutus ucapan Sunggyu dan tanpa menatap pria itu, ia berkata, “bukankah selama ini kau yang selalu memperingatkanku bahwa aku tak sepadan denganmu?”

Kata-kata Yunji itu tiba-tiba saja menjadi sebilah pedang yang langsung menusuk tepat ke jantung Sunggyu. Sakit. Sekarang, Yunji menatap Sunggyu tajam.

“Tapi mengapa kau terus saja berusaha membuatku lupa dengan posisiku? Aku hanya teringat dengan kata-katamu itu dan aku sedang memperingatkan diriku semalam. Apa kau sedang mengujiku? Apa kau pikir ini lucu? Apa kau anggap ini permainan?”

“Kau pikir aku sengaja melakukannya?”

“Bukankah memang begitu adanya?”

Sunggyu pun mendekatkan wajahnya pada gadis itu sehingga keduanya hanya bisa menatap kedua mata masing-masing sekarang. Sebelah tangannya menggapai sisi kepala Yunji untuk menjaga agar gadis itu tak menghindarinya. “Apa kau tau betapa tersiksanya aku untuk tidak mengakui perasaan ini sejak awal? Kuakui banyak kata-kataku yang tidak pantas padamu. Tapi apa kau juga tau apa yang kurasakan setelah mengatakan semua itu? Aku seperti sedang membunuh diriku secara perlahan. Aku benar-benar membenci diriku yang tak bisa mengatakan yang sebenarnya padamu dan justru memilih untuk melukaimu. Karena itu…, karena aku sudah tak bisa melakukannya, pada akhirnya aku menyerah dan tak bisa menahan lagi untuk tidak mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu, Yoo Yunji. Kau yang pertama. Ini terdengar klasik. Tapi kau yang pertama membuatku nyaris gila seperti ini. Karena aku benar-benar mencintaimu. Aku benar-benar tak ingin kehilanganmu.”

Lelaki itu membiarkan keningnya bertemu dengan kening gadis itu. Sedikit berharap dengan begitu, Yunji benar-benar bisa merasakan perasaannya yang tulus.

“Tidak,” tolak Yunji seraya mendorong pundak Sunggyu. “Cepat atau lambat, kau akan menyadari bahwa kita tidak bisa bersama. Kau takkan mampu menghapus perbedaan itu. Kau tidak akan mengerti hal seperti itu, Sunggyu-ssi.”

“Apa yang tidak bisa aku mengerti? Apa yang tidak bisa aku hapus?”

Hidupku yang penuh kemalangan.

“Apa kau tak bisa merasakannya, Yunji-ssi? Apa kau sama sekali tak merasakannya?” Kedua tangan Sunggyu kali ini berada dikedua sisi kepala Yunji. “Aku benar-benar menyesal. Sungguh. Kumohon maafkan aku. Aku memang bodoh karena terlalu memaksakan diri untuk tak mengakui perasaanku padamu saat itu. Bisakah kau tak membenciku?”

Yunji tak mengatakan apapun untuk beberapa saat. Ia hanya menatap Sunggyu yang tertunduk nyaris putus asa. Apakah pria itu menangis? Apakah pria itu sebegitu menyukainya? Di luar kendalinya, Yunji menggenggam lembut kedua telapak tangan Sunggyu yang masih menangkup wajahnya. Ia tak boleh terlalu emosional karena hal itu hanya akan memancing Sunggyu untuk lebih keluar lagi dari batasnya.

“Aku tak pernah membencimu.”

Sunggyu mendongak dengan cepat. Kilat matanya yang semula penuh keputus asaan mendadak berkilat-kilat. “Benarkah?”

“Ibumu takkan senang jika kita bersama. Kau tau persis itu.”

“Aku akan melakukan apapun agar ia mengerti.”

“Kau yakin?”

Sunggyu mengangguk dengan mantap. “Aku yakin ibu adalah orang yang baik. Aku yakin aku bisa meyakinkan ibu.”

“Apa kau sanggup melindungiku jika sesuatu terjadi padaku?”

“Tentu. Tentu aku akan melindungimu apapun yang terjadi. Bahkan tidak akan kubiarkan hal buruk mendekatimu sejengkalpun.”

Yunji terdiam sesaat. Ia menatap lamat-lamat Sunggyu. Tidak ada kebohongan. Setidaknya, itu yang ia lihat sekarang. Semua jawaban pria itu lugas dan cepat. Tak ada jeda saat menjawab semua rentetan pertanyaannya. Jadi, ia coba meneruskan.

“Itu takkan mudah.”

“Sesulit apapun itu.”

“Kehidupanku lebih rumit dari yang kau bayangkan.”

“Dan aku akan membawamu pergi dari kehidupan yang tidak bisa kubayangkan itu.”

“Siap mencintai seorang buronan?”

“Aku siap.”

“Siap mencintai seorang penggoda sepertiku?”

“Maaf. Tapi aku adalah seorang maestro dalam hal itu.”

Yunji terkekeh geli kali ini.

“Siap mencintai seorang pela—.”

Sunggyu membungkam mulut Yunji dengan sebelah tangannya sekarang. “Sudah kukatakan aku tak berniat mengatakan hal itu padamu. Jadi, bisakah kau tak menyinggungnya?”

Yunji tersenyum dan menurunkan tangan Sunggyu dari mulutnya. “Siap dengan semua hal buruk yang akan muncul nanti?”

Lelaki bermata sipit itu memangkas jarak antar wajah mereka seketika. “Aku akan mengubah hal buruk itu menjadi indah.”

“Kau percaya diri sekali.”

“Karena aku Kim Sunggyu.”

“Aku membencimu.”

“Hei! Tadi kau bilang tidak.”

“Tapi sekarang begitu.”

Sunggyu terkekeh geli. “Tapi aku mencintaimu.” Lalu, Sunggyu mencium bibir Yunji tanpa ada penolakan dan air mata yang merusak momen indah itu.

*

*

*

Daehyun melirik Sunggyu jengah ketika lelaki itu memamerkan tangannya yang menggenggam erat tangan Yunji. Sahabatnya itu benar-benar bertingkah seperti anak kecil. Tapi ia memang belum pernah melihat sisi Sunggyu yang seperti itu sebelumnya. Begitu rapuh dan tidak percaya diri. Jadi, wajar jika lelaki itu bersikap kekanakan seperti ini sekarang. Ia pasti hampir gila memikirkan Yunji yang akan menolaknya. Terlebih, selama ini ia tak pernah mengalami penolakan dan tak tau apa itu patah hati. Apalagi perasaan mencintai itu sendiri. Ia sama sekali tak berpengalaman.

“Hentikan! Aku tidak menyusul kalian untuk melihat ini.”

“Benarkah?” Sunggyu menarik Yunji ke sisinya.

Daehyun menggaruk tengkuknya yang tak terasa kesal karena menahan kesal setengah mati. “Kau masih punya kesempatan jika ingin meninggalkannya, noona.”

“Hya! Berhenti memanggilnya noona!

Wae?”

“Karena dia milikku sekarang.”

Sontak jawaban itu mengundang tawa Yunji. Sementara Daehyun semakin tak mempercayai sikap Sunggyu yang makin hari semakin kekanak-kanakan.

“Astaga! Kau semakin terdengar tidak masuk akal sekarang, Kim Sunggyu.”

*

*

*

Noona…” Sunggyu memeluk Yunji dari belakang saat gadis itu sedang memotong wortel yang akan ia masak untuk makan malam mereka. “Apa kau tak ingin istirahat? Kau tidak lelah?” tanya pria itu seraya menyandarkan kepala di pundak Yunji.

“Aku lelah. Tapi kita tetap harus makan, bukan?”

“Kita’kan bisa pesan saja. Bagaimana? Apa yang ingin kau makan?”

Yunji menggeleng. “Aku ingin memasak sendiri. Lagipula, ini tidak akan makan waktu lama. Jadi…,” Yunji melepas pelukan Sunggyu dan memutar tubuh lelaki itu. Lalu mendorong punggung Sunggyu agar pria itu keluar dari dapur. “Kau tunggu saja dan jadilah anak yang manis. Jangan ganggu aku! Aku akan memanggilmu saat makanannya sudah siap. Oke?”

Sunggyu mengerucutkan bibirnya kesal sekaligus manja. “Janji tidak akan lama?”

“Aku hanya memasak. Tidak akan pergi kemana pun.”

“Tapi aku tetap merindukanmu.”

Yunji terkekeh geli. Ia tak menyangka Sunggyu bisa bersikap semanis ini padanya dan cinta pria itu terus saja membuatnya jatuh dalam kehangatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengecup sekilas bibir pria itu. Pun segera beranjak pergi untuk melanjutkan memasak. Alih-alih malu karena sudah mencium Sunggyu duluan.

Sunggyu yang kegirangan menerima ciuman singkat dari Yunji itu pun menuruti perintah gadis itu. Ia duduk di kursi bar, bertopang dagu, dan mengamati Yunji dari sana. Enggan menjauh.

Noona, aku mengijinkanmu melakukannya setiap hari,” ujar Sunggyu merujuk pada ciuman singkat Yunji barusan. “Kau bisa melakukannya untuk membuatku bangun setiap pagi—morning kisseu­­—adalah hal terbaik, bukan? Kau juga bisa melakukannya sebelum kita sarapan, saat aku akan pergi, saat menyambutku pulang, saat—.” Ia terdiam seketika begitu Yunji meliriknya galak seraya mengacungkan pisau. Lantas Sunggyu pun melakukan gerakan mengunci mulut. Tanda perdamaiannya dengan gadis itu dan memamerkan senyum manisnya.

*

*

*

Noona, kau ingat bukan apa yang harus kau lakukan saat aku tidak ada?”

“Tidak membukakan pintu untuk orang asing, tidak meninggalkan rumah tanpa mengatakan apapun padamu, dan segera menghubungimu jika terjadi sesuatu. Benar?”

Sunggyu tersenyum lebar seraya mengusap lembut puncak kepala Yunji dan memamerkan segaris matanya yang entah bagaimana tetap bisa memancarkan sinar yang penuh daya tarik. “Baiklah. Aku akan pergi dan segera kembali. Jadi…,” Sunggyu memejamkan mata dan menunggu.

“Apa? Mengapa memejamkan mata? Kau masih mengantuk?”

Kontan, lelaki itu menghela nafas menyerah begitu mendengar pertanyaan polos Yunji. Ia membuka mata dan melihat gadis itu menatapnya tak mengerti. Sepertinya, Yunji memang tak paham dengan maksudnya atau Yunji yang terlalu pandai menutupi ekspresinya. Sial!

“Baiklah. Aku pergi.”

“Sunggyu-yah, tunggu!” dan saat Sunggyu berbalik, Yunji mengecup bibir lelaki itu sekilas. Tentu saja hal itu mengundang senyuman yang lebih lebar di bibir Sunggyu hingga membuatnya dengan spontan menangkup wajah Yunji dan mengecup bibir gadis itu kembali saking kegirangan.

Saranghae….”

*

*

*

“Dasomie!”

“Yunji-yah?”

Yunji tersenyum lebar begitu mendengar suara sahabatnya dari sambungan telepon. “Bagaimana kabarmu? Apa semuanya baik-baik saja?”

Eung (iya). Semuanya baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Kau sudah lama sekali tak memberiku kabar. Kupikir kau….”

“Aku baik-baik saja dan maaf karena tak memberimu kabar apapun. Bagaimana dengan orang-orang itu? Apa mereka masih mengikutimu?” tanya Yunji dengan hati-hati karena merasa tak enak hati sekaligus khawatir pada Dasom yang sempat diusik oleh debt collector yang mengejarnya.

“Tidak. Mereka sudah lama berhenti mengejarku. Lagipula, aku juga sudah pindah tempat tinggal saat ini.”

“Benarkah? Mianhae (maaf), Dasomie.”

“Ah! Tidak apa-apa. Kau tak perlu khawatir. Semuanya sungguh baik-baik saja. Seseorang juga sudah membantuku untuk mencari tempat tinggal yang baru saat itu.”

“Benarkah? Syukurlah.”

“Aku akan mengenalkannya padamu nanti. Kau pasti akan menyukainya.”

“Pasti dia seorang pria.”

“Uuuu…, Yoo Yunji! Kau selalu bisa menebakku.”

“Itu bukan hal yang mengejutkan.”

Dasom tergelak. “Sudah, sudah. Jangan membahasku terus! Bagaimana denganmu sendiri? Dimana kau sekarang? Apa kau masih tinggal bersama pria itu?”

Yunji mengangguk. “Eo. Aku masih tinggal bersamanya.”

“Uwah! Apa pria itu sungguh sebaik itu?”

Tanpa sepengetahuan Dasom, Yunji tersipu malu. “Eo. Dia mengijinkanku untuk tinggal disini dan bahkan memberiku pekerjaan.”

“Dia tidak menyuruhmu melakukan hal-hal yang aneh, bukan?”

Kali ini, Yunji tergelak. “Tentu saja tidak. Jika iya, apa kau pikir aku akan berada di sisinya selama ini?”

“Ah! Kau benar. Tapi…, hei! Dia pria kaya dan begitu baik padamu. Apa kau tidak mencium sesuatu yang mencurigakan?”

“Apa maksudmu?”

“Mungkinkah dia…, menyukaimu?”

Yunji nyaris saja tersedak karena tepat saat Dasom menebak ia sedang meneguk segelas air. Ia tidak menduga Dasom akan mengatakan hal seperti itu. Terlebih, Yunji belum berniat untuk menceritakan pada Dasom tentang perkembangan hubungannya dengan Sunggyu. Ia hanya tak enak hati pada gadis itu. Ia membuat Dasom kesulitan dengan membuat gadis itu terlibat dalam kehidupannya yang rumit dan dalam situasi seperti itu, ia justru berkencan dengan pria kaya seperti Sunggyu.

“Dia pria kaya, tampan, membiarkanmu tinggal bersamanya, memberimu pekerjaan, dan kau adalah gadis yang cantik. Meskipun yah…, kuakui kau terlalu dingin terhadap pria. Tapi siapa yang tau kalau lelaki itu ternyata memiliki kriteria yang unik dan akhirnya, jatuh cinta padamu?”

Sebisa mungkin, Yunji mengendalikan nada suaranya. “Jangan bercanda! Itu tidak mungkin terjadi.”

Dasom tergelak. “Tak ada yang tak mungkin di dunia ini, Sayang. Atau jangan-jangan kau yang menyukainya?”

“Hyaa!”

Lagi-lagi, dasom tertawa girang. “Kau tau? Kau terdengar bahagia sekarang, Yunji-yah. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali kau terdengar seriang ini.”

Yunji tercenung sesaat. Dasom benar. Bahkan mungkin, ini kali pertama ia merasa sebahagia, seringan, dan sehangat ini.

“Ah!” Terdengar suara ketukan pintu dari tempat Dasom. Yunji bisa mendengarnya samar. “Sepertinya dia sudah datang.”

“Siapa? Pria itu?”

Eung. Aku harus pergi. Ah! Ingat! Kau harus sering menghubungiku. Kita harus bertemu saat kau sudah siap nanti. Arratchi (mengerti)?

Eo. Gomawo, Dasomie.”

*

*

*

“Aku pulang! Noona!” Sunggyu berseru begitu ia memasuki apartementnya. Tapi sebentar! Mengapa semua ruangannya gelap? Dimana Yunji? Mengapa gadis itu tak menyalakan lampu?

Panik, Sunggyu buru-buru menyalakan lampu dan menghambur masuk ke ruang utama. Beruntung, ia segera mendapati Yunji yang tengah tertidur di sofa. Jika tidak, ia pasti sudah menghubungi polisi dan melaporkan telah kehilangan Yunji. Sambil menghela nafas lega beberapa kali, ia berjalan mendekati gadis itu perlahan. Tak ingin membangunkan Yunji, Sunggyu duduk di hadapan gadis itu dengan tenang dan mensejajarkan wajahnya dengan gadis itu.

Mengapa kening Yunji berkerut? Apa ia bermimpi buruk? Pertanyaan itu bergelayut dalam benak Sunggyu. Jadi perlahan, jari telunjuknya mengusap kening Yunji lembut. Benar saja, berangsur-angsur kerutan di kening gadis itu menghilang. Sunggyu tersenyum hanya dengan melihatnya. Ah! Benar. Mengapa ia tak mengambilkan gadis itu selimut? Bergegas Sunggyu menuju kamarnya untuk mengambilkan gadis itu selimut. Tapi belum sempat ia kembali membawa selimut untuk Yunji, Sunggyu sudah mendengar suara teriakan histeris gadis itu..

Sontak saja, Sunggyu berlari menghampiri gadis itu dan ia sudah mendapati Yunji terduduk di sofa dengan wajah panik, takut, sedih, dan ia sedang menangis tersedu masih sambil memanggil ayahnya berulang kali dengan suara yang lebih lirih kali ini. Melihat Yunji dengan tubuh bergetar seperti itu, Sunggyu langsung memeluk gadis itu tanpa banyak bicara. Ia mengusap punggung dan rambut gadis itu berulang kali.

“Ssss…. Kau bermimpi buruk, noona. Itu hanya sebuah mimpi. Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Tidak apa-apa. Sss….”

“Ayah…, ayah….” Yunji masih meracau memanggil ayahnya selagi tersedu.

*

*

*

“Jadi, noona tidak tau dimana ayah noona berada?”

Yunji menggeleng. Sekarang, ia dan Sunggyu sedang berbaring di ranjang pria itu setelah gadis itu sudah jauh lebih tenang. Saling berhadapan, Sunggyu mendengarkan dengan seksama cerita Yunji tentang ayahnya yang tak ia ketahui keberadaannya. Sesekali tangan Sunggyu yang menggenggam sebelah tangan Yunji mengelus telapak tangan gadis itu lembut. Berharap ia bisa menyalurkan kekuatan untuk Yunji. Ia tak tau banyak tentang gadis itu. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk menanyakannya?

“Kapan terakhir kali kalian bertemu?”

“Sebelum kita pergi ke Spanyol, aku sempat bertemu dengan ayah tanpa sengaja. Tapi itu tak lama. Sebelum aku kehilangannya kembali.”

“Oh, ya? Dimana? Kau hampir tak pernah meninggalkan tempat ini tanpa aku saat itu.”

“Kau pasti lupa. Aku pernah sekali keluar bersama Daehyun. Saat itulah aku bertemu dengan ayah yang ternyata bekerja sebagai tukang kebun di sini. Tapi ayah langsung kabur begitu melihatku.”

“Jadi saat itu…, saat kalian tak kembali seharian, itu karena….”

“Iya. Karena Daehyun membantuku mencari ayah saat itu. Tapi kami tak berhasil. Bahkan ayah tak lagi kembali untuk bekerja hingga hari ini.”

“Maafkan aku.”

“Untuk apa?”

“Karena sudah menuduhmu yang tidak-tidak dan berkata kasar padamu saat itu.”

Yunji tersenyum. “Aku tak bisa menyalahkanmu seutuhnya. Aku juga salah karena tak mengatakan apapun padamu.”

“Lalu, apa sekarang kau mau mengatakan sesuatu padaku?” Sunggyu menantikan jawaban Yunji dengan was-was karena gadis itu hanya tertegun menatapnya untuk beberapa saat. “Noona, kau tak perlu mengatakannya jika tak ingin.”

“Tentang keluargaku? Kau ingin mengetahuinya?”

“Apapun tentangmu dan hanya jika kau tak keberatan untuk menceritakannya.”

“Tak ada yang spesial. Tak ada yang bisa kuceritakan. Aku tak tau dimana ayahku. Aku tak tau dimana kakakku dan aku juga tak ingin mengetahuinya. Aku juga tak tau apakah ibuku masih hidup atau tidak. Seperti itulah keluargaku.”

Sunggyu kian mengerti mengapa setiap kali ia berbicara ditelepon dengan ibunya dan Yunji mendengarkan, gadis itu terlihat sedih sekaligus penasaran. Juga mengapa gadis itu sering menatap foto keluarganya dengan tatapan sendu. Ia berusaha merangkai semua kode yang pernah gadis itu berikan. Baik padanya ataupun pada Daehyun.

“Lalu…, siapa orang-orang yang mengejarmu saat itu?”

Debt collector. Ayah memiliki hutang yang sangat banyak. Karena itulah, kami akhirnya terpisah seperti ini.”

“Seberapa banyak?”

“Kau akan melunasinya untukku?”

“Jika itu bisa menyelamatkanmu tentu saja.”

“Tapi aku tak menceritakannya padamu untuk kau kasihani.”

“Aku tak bermaksud mengasihanimu, gadis bodoh.” Sunggyu menyentil kening Yunji pelan. “Maaf, jika itu menyinggungmu. Tapi jika aku bisa membantu untuk meringankan bebanmu….”

“Kau sudah membantuku banyak,” sahut Yunji. “Kau memberiku tempat tinggal. Kau memberiku pekerjaan dan gaji yang mencukupi. Kau mengajakku pergi ke luar negeri. Bahkan, kau memberikan cintamu untukku. Kau sudah cukup banyak meringankan bebanku, Sunggyu-yah. Aku tak pernah menerima cinta seperti ini sebelumnya. Bahkan dari keluargaku sendiri. Aku benar-benar bersyukur sudah bisa bertemu denganmu, kau tau?” Yunji mengusap sebelah pipi Sunggyu membuat pria itu tersenyum bahagia.

“Kemarilah!” Sunggyu menarik Yunji mendekat padanya dan mendekap gadis itu. “Akan kupastikan kau terus mensyukuri hal ini. Aku janji.” Lantas ia mengecup kening gadis itu lembut.

Gomawo, Sunggyu-yah.

*

*

*

Yunji pergi diam-diam dari apartement Sunggyu ketika lelaki itu keluar. Ia tak ingin mengatakannya pada Sunggyu karena takut lelaki itu akan khawatir. Berbekal mengenakan hoodie hitam, topi, dan masker agar tak dikenali, Yunji pergi ke tempat tinggal ayahnya yang terakhir ia ketahui. Mungkin ia bisa mendapat sebuah petunjuk di sana.

Setibanya di sana, ia mendapati pintu pada sepetak kamar yang dulu ditinggali ayahnya ditempeli kertas bertuliskan kamar tersebut disewakan. Memang sudah jelas ayahnya tak mungkin kembali setelah ketahuan dimana ia tinggal.

“Apa kau mau menyewa kamar, nona?”

Yunji segera berbalik begitu mendengar seseorang bertanya padanya. Itu adalah bibi yang ia temui saat ia sedang menunggu ayahnya bersama Daehyun beberapa waktu yang lalu. Buru-buru Yunji membungkuk memberikan salam dan melepas maskernya.

“Oh! Kau gadis muda yang menunggu ayahmu itu, bukan?”

Yunji mengangguk. “Ne (iya). Bibi masih mengingatku?”

“Tentu saja. Kau gadis cantik yang keras kepala dan datang bersama pria tampan yang manis itu, bukan?.”

Yunji tersenyum kecut atas pujian sekaligus sindiran itu.

“Ayahmu sudah pindah. Setelah kau pergi hari itu, ia kembali untuk mengemasi barangnya dan langsung pergi. Aku sudah bilang kau menunggunya semalaman. Tapi dia bilang lebih baik untuk kalian tidak bertemu. Kalian ini benar-benar keluarga yang rumit,” omel bibi itu seraya duduk di teras rumah yang berderit ketika beliau duduki.

“Apa ayah tak mengatakan kemana ia akan pergi, Bi?” Pertanyaan bodoh. Yunji tau itu. Tapi ia tak bisa menahan untuk tidak bertanya. Ia masih mencari harapan sekecil apapun itu.

Bibi itu menggeleng. “Ia tak ingin kau mengikutinya. Mana mungkin ia mengatakan hal itu padaku.”

Mendengar jawaban itu runtuh sudah harapan Yunji. Gadis itu tertunduk lemas. Tak tau harus melakukan apalagi untuk menemukan ayahnya.

“Oh! Tapi hari itu, ia tak pergi sendirian.”

Yunji sontak mendongak dan menatap wanita paruh baya itu tak percaya. “Tidak sendiri? Maksud bibi?”

“Ia bersama dengan seorang pemuda. Kalau tidak salah ingat…, ah! Pemuda itu juga memanggilnya ayah.”

“Barom oppa?”

“Ah! Kau benar nona. Barom. Ayahmu memanggilnya begitu. Jadi, dia kakakmu?”

Yunji tak menjawab. Ia tak sudi menyebut pria itu kakaknya. Satu darah dengannya. Tidak. Takkan pernah. Pikirannya justru berkelana apa yang terjadi saat itu kepada ayahnya. Barom sudah mengetahui keberadaan ayahnya saat itu dan bahkan mereka pergi bersama. Kemana mereka pergi? Apa ayah Yunji bersama kakaknya yang brengsek itu ataukah ayahnya berhasil kabur sendirian lagi?

“Oh! Sebentar, gadis muda! Aku ingat. Karena saat itu ayahmu terburu-buru, ia meninggalkan beberapa barangnya. Tunggu!”

Yunji mengernyit. Barang? Mungkinkah barang-barang itu bisa menjadi petunjuk baginya? Tak lama setelah masuk ke dalam kamar yang dulu dihuni oleh ayah Yunji, bibi itu keluar dengan membawa sebuah kardus berukuran sedang. Isinya juga sepertinya tidak terlalu penuh. Dengan sigap, Yunji segera mengambil kardus itu dari Si Bibi karena tampaknya beliau sedikit kesulitan membawanya saat keluar dari kamar.

“Beruntung aku belum membuangnya. Tak banyak yang ia tinggalkan. Tapi mungkin ini bisa membantumu.”

“Gamsahamnida, ahjumma. Gamsahamnida.”

Bibi itu tersenyum. “Semoga kau bisa segera menemukan ayahmu, nak,” ujar bibi itu seraya menepuk punggung Yunji beberapa kali. Sementara gadis itu hanya menatap tumpukan barang di dalam kardus yang berisi tak seberapa banyak itu.

Lantas, bibi itu meninggalkan Yunji sendiri. Gadis itu pun duduk di teras rumah sewa berisi 3 kamar itu. Ia membongkar isi kardus yang berisi barang-barang yang ayahnya tinggalkan. Mungkin, ia bisa menemukan sesuatu yang akan memberinya petunjuk. Pada bagian atas kardus itu menumpuk peralatan makan sederhana dan beberapa peralatan pribadi lainnya. Baru pada bagian paling bawah Yunji menemukan sebuah buku cerita usang. Ya, buku cerita! Yunji ingat saat ia masih kecil dulu, buku itu selalu ia bawa kemanapun dan selalu ia baca berulang kali. Karena itu, satu-satunya buku cerita yang ia punya. Buku cerita tentang Putri Duyung. Jadi, Yunji mengambilnya dan membuka tiap halaman buku cerita itu. Ia seakan sedang bernostalgia sejenak. Tanpa sadar, bahkan ia tersenyum.

Saat itu, ia juga mengimpikan kehadiran pangeran tampan yang akan menyelamatkannya dari keadaannya yang menyedihkan: ayah tukang mabuk dan suka berjudi serta kakak yang amat membencinya untuk alasan yang tak ia ketahui. Meskipun, pangeran itu hanya akan memberikannya kebahagiaan sejenak, itu tak masalah. Tak masalah jika setelah itu Sang Putri Duyung akan musnah menjadi buih di lautan. Tak masalah selama impiannya sudah terwujud.

Belum selesai Yunji membaca ulang buku itu, ia teringat jam sudah menunjukkan pukul 6 petang. Sebentar lagi, Sunggyu akan segera tiba. Jadi, ia buru-buru membereskan kembali barang-barang itu ke dalam kardus dan membawanya pergi.

*

*

*

“Kemana kita akan pergi?”

“Makan. Aku bosan makan di rumah terus.”

“Jadi, kau bosan dengan masakanku?”

Ania (tidak),” sanggah Sunggyu buru-buru. “Aku hanya takut noona akan merasa jenuh berada di rumah sepanjang hari.”

“Tadi kau bilang kau yang bosan,” gerutu Yunji seraya membuang pandangannya ke luar jendela mobil.

Sunggyu ingin menyanggahnya kembali. Tapi, ia tau itu akan berakhir dengan sia-sia. Jadi, ia menutup kembali mulutnya rapat-rapat dan hanya mengulurkan sebelah tangannya guna mengusap puncak kepala Yunji. Diam-diam, gadis itu tersipu terhadap perlakuan yang ia terima dari Sunggyu itu.

“Aku baru tau, noona bisa merajuk juga rupanya.”

“Hyaa!” hardik Yunji yang tak terima disebut merajuk serta merta mengundang gelak tawa Sunggyu.

Mereka pun tiba di sebuah restauran dan rupanya, Sunggyu telah memesan meja untuk makan malam keduanya. Yunji membiarkan Sunggyu memesan makanan untuk mereka malam itu. Keduanya duduk di sisi jendela yang memamerkan hamparan lampu kota Seoul dari ketinggian.

Noona menyukai ini?”

Yunji mengalihkan pandangannya pada Sunggyu sekarang setelah beberapa saat hanya mengagumi keindahan pemandangan malam itu. Lantas mengangguk.

“Sebelumnya, aku hanya memandang keramaian kota dari sudut sebuah toko sambil makan ramyeon.”

“Sekarang, tidak lagi, bukan?”

“Tapi itu bukan pengalaman yang buruk juga, kok. Apa kau pernah mencoba itu sebelumnya?”

Sunggyu menggeleng.

“Kita harus mencobanya lain kali.”

“Kau yakin?”

“Mengapa tidak? Bukankah kau sendiri yang bilang akan melindungiku?”

Sunggyu menegakkan pundak dan mengangkat dagunya tinggi. “Kau bisa mengandalkanku kapanpun dan dimanapun, nona,” ujar lelaki itu dengan nada suara yang dibuat lebih besar seraya menyentuh bagian kiri dadanya yang mengundang tawa Yunji. “Berjanjilah padaku, kau hanya akan tersenyum secantik ini di depanku,” ucap lelaki itu seraya menyentuh satu sisi pipi Yunji. Ia hanya merasa tak pernah selesai untuk mengagumi senyum menawan gadis itu. Senyum yang semula ia pikir tak dimiliki oleh gadis itu. Akan tetapi akhir-akhir ini, kerap Yunji umbar padanya.

“Kau pikir, aku bisa tersenyum seperti ini karena siapa?”

“Woah! Lihat! Noona mulai pandai merayu sekarang.”

“Kau benar. Sepertinya aku sudah mulai terkontaminasi sikapmu.” Sontak, keduanya pun sama-sama tergelak.

Yunji sedang berada di toilet usai menikmati hidangan malam itu. Ia mematut dirinya di depan kaca dan menatap wajahnya lamat-lamat. Ia baru sadar. Ia memang tak pernah memiliki ekspresi seperti ini sebelumnya. Sorot matanya tak pernah bersinar dan sehidup ini sebelumnya. Dulu, ia hanya tampak muram dan suram sepanjang hari. Dan akhir-akhir ini, ia tak melihat lagi dirinya yang seperti itu. Seberapa lamakah kebahagiaan ini akan berlangsung?

Usai mencuci tangannya, Yunji beranjak keluar dari toilet. Dan tak lama setelah itu, seseorang mencengkram tangan gadis itu dan mendorongnya ke tembok. Lantas menekan kedua pundak Yunji agar gadis itu tak bisa kabur darinya.

Oremaniya, uri dongsaengie (lama tak berjumpa, adikku),” ucap Barom dengan senyum separuh liciknya.

Seketika, sekujur tubuh Yunji terasa dingin dan ia membeku. Tanpa perlu Barom menahannya pun, ia sudah tak mampu berkutik. Mengapa mimpi buruk itu datang lagi secepat ini?

Barom melirik ke sekeliling sesaat. Memastikan bahwa takkan ada orang yang datang atau mendengarkan pembicaraan mereka nantinya.

“Bagaimana perjalananmu, adikku? Sepertinya semua berjalan dengan sangat lancar. Kau mendengarkan kakakmu ini dengan sangat baik rupanya. Gomawo.”

“Dimana ayah?”

“Kau menanyakan pria tua itu? Mengapa tak kau tanya keadaan kakakmu ini dulu?”

“Apa itu perlu?”

“Lidahmu masih tajam seperti biasanya rupanya. Kupikir kau sudah berubah menjadi jauh lebih anggun begitu hidup sebagai orang kaya.”

“Katakan dimana ayah?!”

Wajah Barom mengeras dan menatap Yunji tajam. “Kalau kau begitu mengkhawatirkannya, seharusnya kau segera melunasi hutangnya dan buat hidup kita tenang!” Lelaki itu mencengkram erat dagu Yunji dengan satu tangannya sekarang. “Tapi apa yang kau lakukan sekarang, huh? Apa kau menikmati menjadi kekasih dari orang kaya itu dan berusaha kabur dari kenyataan? Jangan bermimpi! Kau masih dalam pengawasanku, Yoo Yunji!”

“Dimana ayah?” Yunji masih bersih keras menanyakan keberadaan ayahnya. Meski ia kesulitan membuka mulut karena Barom mencengkram dagunya dengan sangat kuat. Ia berusaha melepas tangan lelaki itu. Tapi sayang, Barom terlampau kuat darinya. Padahal, ia sudah merasa semakin kesulitan bernafas.

“Beri saja aku uang dan akan kurawat pria tua itu baik-baik.”

“Dimana—.”

“Ia sedang sakit. Karena itu, beri saja aku uang dan segera selesaikan urusanmu dengan pria itu atau kalau tidak….”

Yunji menatap Barom tajam berusaha mengancam lelaki itu jika melakukan hal yang tak semestinya pada ayah mereka.

“Atau kalau tidak, aku akan membuangnya,” lanjut Barom mengindahkan ancaman Yunji seraya tersenyum licik.

Belum sempat Yunji menjawab, Barom dengan cepat melepas cengkramannya ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Yunji mengambil nafas dalam-dalam begitu ia bisa bernafas dengan leluasa kembali. Di saat itulah, Barom mengambil kesempatan untuk merebut tas Yunji dan mengambil uang dari dompet gadis itu cepat-cepat. Lantas mengambil seribu langkah sebelum seseorang itu datang.

Sunggyu menatap aneh pria yang berpapasan dengannya. Karena pria itu menutupi separuh wajahnya dengan sebelah tangan dan menghindari kontak mata dengannya. Pria yang aneh, pikirnya. Saat ia berbelok ke lorong menuju toilet, ia mendapati Yunji yang tengah bersandar pada tembok seraya mendongak dengan nafas yang terengah-engah.

NOONA!” Sunggyu segera berlari menghampiri gadis itu. Ia mencengkram kedua lengan Yunji dan terus menanyakan keadaannya karena Yunji tak kunjung menjawab. “Apa pria tadi yang melakukannya?” Lelaki itu hendak beranjak mengejar pria yang berpapasan dengannya tadi. Tapi, Yunji menangkap lengannya dan meminta Sunggyu untuk tidak perlu mengejar pria itu karena ia tak melakukan apapun.

“Maaf. Seharusnya, aku mengikutimu saja,” ujar Sunggyu seraya memeluk Yunji.

“Tak apa. Aku tak apa-apa. Sungguh,” jawab Yunji dengan suara lemah.

“Tidak. Kau tidak sedang baik-baik saja. Apa yang sudah terjadi?”

Yunji menggeleng. “Kita pulang saja. Eo?”

Sunggyu mengangguk. “Baiklah kalau itu maumu.” Ia berusaha mempercayai gadis itu dan merangkul Yunji pergi dari tempat itu.

*

*

*

“Yunji-yah!” Panggil seseorang ketika Yunji hendak masuk ke dalam mobil.

Saat menoleh ke asal suara, Yunji mendapati Dasom berlari ke arahnya dengan riang. Tentu saja, keduanya sontak berpelukan ketika sudah berhadapan. Rasanya begitu lama keduanya sudah tak bertemu.

“Akhirnya, kita bertemu,” ujar Dasom seraya melepas pelukannya.

Yunji mengangguk. “Senang bertemu denganmu lagi, Dasomie.”

“Oh! Anyeonghaseyo!” Dasom membungkuk sekilas menyapa Yunji yang berdiri di belakang Yunji. “Aku Jung Dasom,” imbuhnya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.

“Aku Kim Sunggyu,” balas Sunggyu seraya menjabat tangan Dasom.

“Kita pernah bertemu sebelumnya. Anda ingat denganku?”

“Err….” Sunggyu berpikir seraya melirik Yunji cemas. Cemas karena takut jangan-jangan gadis itu salah satu gadis yang pernah ia rayu dulu.

“Kau pernah bertemu dengannya di supermarket saat kita berbelanja dulu.”

Kening Sunggyu berkerut samar. Ia masih berusaha mengingat.

“Puding,” tambah Yunji dan seketika membuat Sunggyu teringat. Dan sial! Yeah, dia memang pernah merayu gadis itu. Tapi itu dulu. Saat ia masih ‘gila’. Ia pun buru-buru meminta maaf.

“Tidak apa-apa. Saat itu, kita memang belum saling mengenal.”

“Tapi…, mengapa kalian tidak terlihat saling kenal saat itu?”

“Eng….” Yunji dan Dasom sama-sama menggumam dan saling melirik. Lantas keduanya terkekeh geli.

“Kalian sudah menipuku rupanya,” ujar Sunggyu pura-pura marah seraya melipat kedua tangan di depan dada.

“Maaf. Saat itu, situasinya sedikit sulit. Kau tau?”

Sunggyu mengangguk memahami seraya mengelus puncak kepala Yunji.

“Ah! Senangnya bisa melihatmu tersenyum, Yunji-yah. Anda benar-benar hebat Sunggyu-ssi!”

“Apa sifatnya seburuk itu dulu?”

Yunji melirik Sunggyu galak begitu mendengar lontaran pertanyaan lelaki itu. Tapi hal itu justru membuat Sunggyu dan Dasom tergelak kali ini.

“Bukan buruk. Hanya saja, dia jarang sekali tersenyum. Tapi dia teman yang baik. Percayalah!”

“Berhenti membicarakanku!” putus Yunji. “Ngomong-ngomong, apa yang sedang kau lakukan di sini?”

“Aku sedang menunggu pacarku selesai bekerja.”

“Oh, ya? Apa dia pria yang membantumu selama aku pergi itu?”

Dasom mengangguk malu. “Sebenarnya, aku juga bekerja di sini. Tapi hari ini, aku sedang libur. Jadi, aku ingin menjemputnya dan mengajaknya makan malam.”

“Aku harus berterimakasih padanya.”

“Oh! Itu dia!” Dasom melihat ke belakang Yunji saat ia mendapati kekasihnya berjalan menghampirinya.

Yunji menoleh dan sekali lagi dalam sehari, ia merasa sekujur tubuhnya membeku. Baru saja ia merasa tenang karena Barom sudah pergi dan ia bertemu dengan Dasom yang sudah lama ia tak temui dalam keadaan baik-baik saja. Kini, ia harus menghadapi kenyataan pahit lagi ketika sosok yang Dasom akui sebagai kekasihnya tak lain adalah Yoo Barom.

Barom melewati Yunji begitu saja seakan ia tak mengenali gadis itu dan menghampiri Dasom seraya memeluk gadis itu sekilas.

“Apa kau sudah lama menungguku?” tanya Barom pada Dasom dengan manis.

Dasom menggeleng manja. “Oppa, kenalkan! Ia Yoo Yunji—sahabatku—yang sering kuceritakan padamu. Kami bertemu tanpa sengaja di sini. Dan ia adalah kekasih Yunji. Kim Sunggyu-ssi.”

“Senang bertemu dengan kalian,” ujar Barom seakaan tak mengenali kedua orang di hadapannya itu. Bahkan ia menjabat tangan Sunggyu dan tentu saja, saat mengulurkan tangannya pada Yunji, gadis itu hanya terpaku. Mungkin lebih tepatnya enggan menjabat tangan pria yang paling ia benci itu. Ia menatap lelaki itu tak percaya.

“Yunji-yah.” Dasom tau ada yang salah dengan raut wajah Yunji. Tapi ia tak tau apa itu. Yang jelas, ekspresi Yunji seketika berubah beku.

Sunggyu merangkul pundak Yunji karena juga menyadari ada yang salah dengan gadis itu. “Hei! Apa kau masih merasa tak enak badan?”

Yunji melirik tangan Sunggyu yang merangkulnya. Hangat. Iya, ia tak perlu takut. Ada Sunggyu di sisinya saat ini. Tak ada yang perlu ia cemaskan setidaknya untuk saat ini. Jadi, ia hanya mengangguk pelan.

“Kau tak apa-apa Yunji-yah?”

Yunji menatap Dasom dan memaksakan seulas senyuman. Lantas mengangguk. “Dasom-ah, sepertinya kami harus segera pergi. Kau jaga dirimu baik-baik. Eo?”

*

*

*

Yunji duduk termangu di ruang tengah dengan lampu seluruh ruangan yang ia biarkan padam dan televisi yang menyala dengan suara lirih yang akan ia gunakan sebagai alasan seandainya Sunggyu memergokinya. Pikiran gadis itu melayang mencoba mencerna akan semua hal yang terjadi padanya malam ini.

Silih berganti wajah Dasom dan Barom beriringan dalam benaknya. Dasom bekerja di tempat yang sama dengan Barom. Dasom bilang Barom kekasihnya. Dasom bilang kekasihnya sudah sangat membantunya selama ini. Dasom bilang kekasihnya adalah orang yang baik. Dasom bilang…. Tidak. Yunji yakin pasti ada yang salah. Tidak mungkin. Mana mungkin Dasom bisa terjebak dengan Barom? Astaga! Mengapa ia tadi begitu bodoh? Mengapa ia tak mengatakan yang sebenarnya pada Dasom tadi? Mengapa ia membiarkan Barom begitu saja? Apa ia bodoh? Apa ia sedang bekerja sama dengan Barom untuk membohongi Dasom dan Sunggyu? Cih! Memang siapa yang sudi bekerja sama dengan lelaki itu? Lalu, apa yang sudah ia lakukan tadi? Mengapa ia bungkam dan kabur?

Kau benar-benar seroang pengecut Yoo Yunji! Yunji merutuki dirinya dalam hati. Ia harus segera menghubungi Dasom dan menjelaskan semuanya. Ia tak bisa membiarkan Dasom ditipu oleh pria macam Barom. TIDAK. Tapi apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengapa semakin banyak orang yang terlibat? Yang jelas, ia tak bisa membiarkan ini menjadi lebih kacau lagi.

“Kau sedang apa?”

Yunji tersentak kaget karena sudah mendapati Sunggyu tengah bersandar pada tepian pintu kamar dengan tangan yang terlipat di depan dada.

“Apa aku membangunkanmu? Apa suara televisinya mengganggu tidurmu?”

Sunggyu menggeleng pelan.

“Kalau begitu, apa kau terbangun karena ingin minum? Biar kuambilkan,” ujar Yunji seraya beranjak dari tempatnya.

Sunggyu hanya terdiam dan membiarkan Yunji yang tampak canggung pergi ke dapur untuk mengambilkan ia segelas air putih. Tapi gadis itu tersandung sebelum tiba di dapur karena lampu yang belum ia nyalakan. Yunji tertawa kaku dan mengatakan pada Sunggyu tak perlu khawatir karena ia hanya harus menyalakan lampu agar tak tersandung lagi.

Saat Yunji berbalik usai menuang air ke dalam gelas, ia sudah mendapati Sunggyu berdiri hadapannya. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya seraya menyodorkan segelas air yang ia ambilkan untuk pria itu.

Sunggyu menerimanya dan segera meneguk air hingga habis. Lantas menatap Yunji dalam-dalam dan meletakkan gelas ke meja. Ia mencengkram kedua pundak Yunji dan menuntun gadis itu untuk duduk di kursi yang tak jauh dari keduanya.

“Ada apa?” tanya Yunji hati-hati.

Sunggyu masih tak menjawab. Ia justru jongkok di hadapan Yunji dan masih menatap kedua mata gadis itu lamat-lamat.

“Ada apa? Bicaralah! Jangan membuatku takut! Apa kau mimpi buruk?”

Pria itu masih bungkam. Bahkan ia mencegah tangan Yunji yang hendak menyentuhnya dan justru mengeluarkan sebuah salep dalam botol kecil dari sakunya. Pun mulai mengoleskan salep itu pada sekitar rahang Yunji yang lebam dengan sangat hati-hati dan tanpa mengatakan apapun. Tak ada yang bisa dilakukan Yunji selain membiarkan pria itu melakukannya. Ia tau Sunggyu hanya sedang menyiapkan banyak pertanyaan untuknya. Jadi, ia harus bersiap-siap akan serangan-serangan pertanyaan itu.

“Apa masih sakit?” tanya Sunggyu.

Gadis itu menggeleng. “Tidak apa-apa. Ini bukan apa-apa.”

“Bisakah kau berhenti mengatakan seakan kau sudah terbiasa terluka?”

“Maaf.”

Sunggyu menghela nafas dengan keras. “Tak bisakah kau bergantung padaku, noona? Tak bisakah kau percaya padaku?”

“Sunggyu-yah….”

“Melihatmu seperti tadi membuatku benar-benar cemas. Hatiku juga terasa sakit. Tak bisakah kau membaginya denganku? Mengapa kau harus menghadapinya sendiri?”

“Bukan begitu.”

“Maaf. Karena setelah mengatakan aku berjanji akan menjagamu kapanpun dan dimanapun, aku malah membiarkanmu mengalami hal itu. Tapi tak bisakah kau membaginya denganku? Aku ingin membantumu. Bukan karena aku kasihan. Tapi karena aku tak suka melihatmu menderita. Aku tak suka merasa sakit karena melihatmu terluka. Aku tidak bisa menahannya. Katakan padaku, apa yang bisa kulakukan untukmu?”

Yunji tersenyum dan menatap Sunggyu lembut. Ia nyaris menangis. Jadi, ia putuskan untuk meraih kedua pipi pria itu dan mengecup bibir Sunggyu lembut. Ia tak ingin menangis di hadapan Sunggyu. Lantas tersenyum mencoba menyalurkan kata-kata pada Sunggyu bahwa ia baik-baik saja selama pria itu ada untuknya.

“Tetap menjadi Sunggyu yang hangat kepadaku.”

“Kau tau kau tak perlu memintanya.”

“Maukah kau memelukku?”

Sunggyu menghela nafasnya sebagai jawaban ‘tentu saja!’. Pun berdiri dan memeluk Yunji sembari mengelus punggung gadis itu. Yunji juga melingkarkan lengannya pada pinggang Sunggyu erat-erat. Ia memejamkan mata dan mencoba menghirup aroma tubuh Sunggyu dalam-dalam. Entah sejak kapan, memeluk pria itu benar-benar ampuh untuk melepas semua kecemasan, keresahan, dan ketakutannya.

“Aku bertemu dengannya tadi,” ujar Yunji tanpa membuka mata dan tetap memeluk Sunggyu. “Kakakku. Yah…. Meski aku tak pernah ingin mengakuinya seperti itu. Tapi kakak mengatakan padaku bahwa ayah bersamanya dan saat ini sedang sakit. Aku tak tau seberapa buruk keadaan ayah. Tapi aku sunggu h mengkhawatirkannya. Aku tau siapa kakakku. Itulah yang membuatku cemas apakah ia akan merawat ayah dengan benar. Bagaimana keadaannya? Apakah kakak sudah membawanya ke dokter? Apakah ayah sudah minum obat? Aku hanya ingin menemukan ayah. Tapi aku tak tau apa yang harus kulakukan.”

“Kita bisa mencarinya bersama. Aku akan membantumu. Apakah kakakmu bekerja di restauran itu ataukah ia memang sedang mengikutimu? Kita bisa mulai mencarinya dari sana. Percayalah kau bisa mengandalkanku!”

Yunji tak menjawab. Ia tak tau apakah ia harus mengatakan sekarang bahwa pria yang Dasom sebut kekasih adalah kakaknya. Ia hanya mengeratkan pelukannya pada Sunggyu sebagai ungkapan terimakasih karena lelaki itu selalu mendukungnya sekaligus ucapan maaf karena belum bisa jujur sepenuhnya saat ini.

“Kau tak ingin tidur?”

“Apa kau sedang mengalihkan topik pembicaraan?”

Yunji tersenyum. Ia tau ia tak akan bisa kabur dari pertanyaan Sunggyu. “Aku hanya ingin mengatakan: jangan terlalu baik padaku,” ujar Yunji kemudian.

“Apa yang noona katakan?”

“Aku tak sebaik itu untuk menerima kebaikan sebesar yang kau tawarkan. Kau tak tau apa yang bisa kulakukan padamu kelak. Tidak kau ataupun aku. Aku juga tak tau apa yang akan aku pikirkan nantinya. Aku hanya tak ingin kau menyesalinya, Sunggyu-yah.”

“Mengapa aku harus menyesalinya?”

Yunji menggedikkan pundak. “Entahlah. Aku juga tak tau. Aku hanya tak ingin kau memiliki penyesalan.”

“Jika aku takut akan penyesalan, aku tak akan pernah berani mencintaimu sejak awal.” Sunggyu menumpuk keningnya pada Yunji.

“Perayu ulung!”

Sunggyu terkekeh. “Jadi…, bagaimana dengan besok?”

“Kita akan melakukannya sesuai dengan rencanamu. Kita akan mulai mencari kakak dan ayah besok. Kau senang?” Gadis itu mendongakkan kepala menatap Sunggyu.

Sunggyu tersenyum manis menyisakan gambaran bulan sabit pada garis matanya. “Aku tau kau hanya ingin membungkamku.”

“Tidak. Aku serius.”

“Pembohong,” ujar Sunggyu yang kemudian mencium bibir Yunji. Mereka hanya saling membalas ciuman untuk beberapa saat. Menenangkan hati Yunji yang resah sejak sekembalinya mereka dari makan malam karena Sunggyu dengan caranya selalu berhasil mengendalikan emosi gadis itu dengan baik.

“Cha! Mari kita tidur sekarang! Ini sudah lewat tengah malam. Bukankah kau harus bangun pagi sekali nanti?”

“Hya! Kau sudah membuatku terjaga dan tak semudah itu membuatku kembali tertidur. Kecuali…,” Sunggyu mendekatkan wajahnya hendak mencium Yunji kembali. Akan tetapi, gadis itu segera menutup bibir Sunggyu dengan telapak tangannya. “Hya!” hardik Sunggyu setengah bercanda karena Yunji mencegahnya untuk mencium gadis itu.

Yunji terkekeh. “Tunggu aku di kamar! Akan kubacakan kau sebuah cerita. Kau harus mendengarkannya.”

“Kau tau? Itu adalah sebuah pemaksaan,” gerutu Sunggyu. Melihat Yunji hanya membalas dengan menggedikkan pundak, ia tau ia hanya harus menuruti gadis itu dan lantas beranjak pergi ke kamar.

Sementara Sunggyu menunggu Yunji di dalam kamar, gadis itu mengambil buku cerita yang ia dapat tempo hari saat mengunjungi tempat tinggal ayahnya terakhir kali. Ia menyembunyikan buku itu di dalam laci yang terdapat pada meja televisi. Sebelum membawanya ke kamar, ia membuka cepat buku itu terlebih dulu hingga pada halaman terakhir ia menemukan selembar foto dalam posisi terbalik yang disisipkan pada buku tersebut. Dimana pada belakang foto itu terdapat tulisan khas anak kecil bertuliskan : Ayah, Ibu, Barom, Yunji, Bahagia. Yunji pun segera membalik foto itu dan begitu ia mengenali sosok yang ada pada foto itu, jantungnya seakan berhenti berdetak. Nafasnya tercekat. Tubuhnya seolah membeku. Meski tangannya bergetar hebat. Foto lawas itu memamerkan senyuman sebuah anggota keluarga kecil. Keluarga kecil Yunji yang tak pernah ia ketahui bahwa mereka pernah tersenyum sebahagia itu dulu. Meskipun hal ini adalah sesuatu yang sangat ingin ia dapatkan selama ini. Tapi kali ini ia ingin menyangkal kenyataan ini. Bukankah ini terlalu kejam?

NOONA! Mengapa kau lama sekali?” teriak Sunggyu dari dalam kamar tanpa mengetahui apa yang terjadi.

Yunji terkesiap mendengar suara Sunggyu dari dalam kamar dan bersamaan dengan itu air matanya bergulir. Perlahan, ia memberanikan diri menatap foto dalam cetakan besar yang terpampang di dinding ruangan itu. Foto satu keluarga. Foto Sunggyu bersama ayah dan ibunya yang juga tersenyum bahagia. Foto itu dan foto yang ia pegang memiliki dua persamaan yang secara bersamaan menusuk jantung Yunji. Pertama: keduanya adalah foto keluarga yang sedang tersenyum bahagia. Kedua: foto-foto itu sama-sama menunjukkan seorang ibu yang memiliki wajah yang sama dan dengan senyuman yang juga sama. Tanpa sadar, ia menjatuhkan foto dan buku yang berada di tangannya.

Yunji membungkam mulutnya rapat-rapat. Ia nyaris berteriak gila. Ia ingin seseorang mengatakan padanya bahwa semua ini adalah kebohongan. Tidak mungkin ini terjadi padanya. Setelah semuanya yang ia lalui, apakah ini adalah puncaknya? Apakah ada hal lain yang bisa lebih buruk lagi dari ini?

“NOONA!”

Yunji memejamkan mata rapat-rapat begitu mendengar panggilan kedua Sunggyu. Ia mencoba menenangkan diri. Meski terasa sulit. Ia berusaha menghirup udara dalam-dalam karena entah sudah berapa lama ia menahan nafasnya. Lantas mengusap air matanya. Jika ia tak segera menyahut, Sunggyu pasti akan segera keluar dari kamar dan bukan hal yang bagus jika lelaki itu melihat hal ini semua.

Ne!” sahut Yunji begitu berhasil mengeluarkan suara dan mengendalikan emosinya. “Chankaman (tunggu sebentar)!”

Buru-buru ia mengambil foto yang ia jatuhkan dan menyembunyikan foto tersebut ke dalam laci dimana ia meletakkan buku cerita sebelumnya. Pun menghela nafas keras untuk melegakan dadanya yang terasa sesak. Meskipun hal itu tak membantu banyak. Tapi ia harus segera kembali ke kamar dan tak boleh membuat Sunggyu curiga.

Sunggyu menyambut Yunji dengan senyuman ketika gadis itu memasuki kamar. Ia menepuk-nepuk bantal di sebelahnya memberikan kode bahwa gadis itu harus segera berada di sampingnya.

“Buku apa yang noona bawa?” tanya Sunggyu pada Yunji yang sudah duduk bersandar pada bantal di sampingnya.

“Putri Duyung,” jawab Yunji singkat. Ia masih tak tau harus berbuat apa. Ia tak bisa menatap mata Sunggyu karena takut tak akan bisa menahan tangisnya lagi.

“Putri Duyung?” Sunggyu bersandar pada pundak Yunji manja. “Aku tidak suka cerita Putri Duyung.”

Wae?”

“Karena pada akhirnya, Putri Duyung harus menghilang menjadi buih di lautan.”

Ucapan Sunggyu membuat tenggorokan Yunji kian tercekat.

Noona tidak akan menghilang dari pandanganku seperti itu’kan?”

“Aku….” Mati-matian Yunji berusaha menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering seketika. “Mengapa aku harus menghilang seperti itu? Kau tau aku bukan Putri Duyung,” seraya memaksakan seulas senyuman.

“Baguslah kalau begitu. Noona bisa membacakan ceritanya untukku sekarang,” ujar Sunggyu seraya membetulkan posisinya agar lebih nyaman.

Yunji menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya ia membacakan halaman demi halaman buku cerita itu pada Sunggyu. Membaca setiap halamannya bagi Yunji seakan ia sedang dipaksa berjalan pada jalanan berduri. Sakit tapi ia harus menahannya hingga halaman terakhir ia selesai bacakan dan Sunggyu benar-benar telah terlelap. Yunji memanggil Sunggyu beberapa kali untuk memastikan bahwa pria itu benar-benar sudah tertidur. Tak ada jawaban dan dari hembusan nafas lelaki itu yang teratur jelas bahwa Sunggyu sudah larut dalam alam bawah sadarnya.

Yunji menyentuh pipi Sunggyu lembut dan mengecup puncak kepala pria itu. lantas menyandarkan kepalanya pada kepala Sunggyu. Ia memejamkan mata dan membiarkan air matanya mengalir. Ia memang tak pernah tau bagaimana kisahnya dan Sunggyu akan berakhir. Karena ia masih memberanikan diri untuk menanam banyak harapan di sana. Tapi kali ini, ia benar-benar sudah melihat akhirnya. Ia tak lagi boleh gamang. Ia tak lagi boleh ragu mengambil jalan. Ia berusaha membantah kenyataan ini. Tapi kenyataan itu sendiri tak terbantahkan. Semuanya sudah terpampang jelas. Apalagi yang akan ia jadikan alasan? Hanya saja, pada kenyataan yang kejam ini, ia ingin meminta satu hari saja sebelum akhirnya ia terpaksa melepas hal yang telah mengajarinya arti sebuah kehangatan.

“Sunggyu-yah, saranghae,” bisik Yunji dengan suara tercekat.

To be continued

Song Review